Bumi dan Harsa

elenio
Chapter #11

Bagian 11

Matahari masih belum menampakkan wajahnya di ufuk timur, angin malam masih dingin bertiup menusuk tulangku. Untung sejak aku bangun tadi, salju tidak turun lagi, sehingga suhu tak sedingin jika salju masih turun. Aku memakai kupluk pakaian hitam yang kukenakan. Dengan duduk bersila di atas salju dingin, aku mengikuti arahan Paman Azel yang melatihku.


Telapak tangan kananku menghadap langit dan kutaruh di atas lutut. Mataku terpejam, semuanya gelap. Tiba-tiba saja tubuhku terasa hangat, entah apa yang dilakukan Paman Azel di depanku, aku tidak tahu sama sekali. Tangan kananku terasa ditutupi oleh telapak tangan Paman Azel yang lebar. Rasa hangat semakin menyelimuti tubuhku. Membunuh rasa dingin yang sedari tadi menyelimutiku.


Sesuatu terasa menjalar dari tangan Paman Azel, menelusup masuk ke dalam tanganku, mengalir dan bergerak, menjalar hingga lengan melalui peredaran darah. Terasa sekali yang masuk itu menjalar di tubuhku. Bergerak ke dada, dan sesaat kemudian jantungku berdebar hebat. Tubuhku semakin terasa panas dan hangat.


"Astaga, Naya!" Suara Yasa terdengar berteriak kaget.


"Jangan buka matamu, Naya." Paman Azel berbisik, mengurungkan niatku untuk membuka mata, melihat apa yang terjadi sebenarnya dengan tubuhku. "Fokus dengan apa yang kamu rasakan, biarkan kekuatan itu keluar dari tubuhmu," lanjut Paman Azel.


Jantungku yang berdetak kencang, sekarang kembali normal. Tapi sesuatu yang tidak kuketahui itu apa terasa berkumpul di dada, membuat nafasku terasa sesak, perlahan bergerak mengalir di kedua tanganku, hingga perlahan terasa keluar dari telapak tangan.


"Buka matamu perlahan, Nay," perintah Paman Azel berbisik.


Aku membuka mata, astaga, ada api di atas telapak tanganku, membulat sebesar bola kasti dan berkobar tertiup angin.


"Kamu bisa merasakannya, Naya?" tanya Paman Azel, dan aku hanya mengangguk menjawabnya. "Coba atur, Nay. Kurangi dan kemudian tambah energi yang keluar itu," lanjut Paman Azel memerintah.


Perlahan aku mencobanya, mengatur aliran di kedua tanganku, menahan kemudian melepaskannya. Bola api itu menurutinya, saat aku menahan kekuatan itu, bola apinya mengecil, saat aku melepaskannya, bola api itu membesar.


"Padamkan!" perintah Paman Azel dengan lantang.


Suara Paman Azel membuat kukaget. Lekas kutahan energi yang keluar itu, sedetik kemudian bola api di tanganku padam tertiup angin. Segera kupandangi Paman Azel karena heran dengan perintahnya yang terakhir itu.


"Kenapa dipadamkan, Paman?" tanyaku.


"Tadi energimu keluar karena kupancing, Naya. Sekarang kamu harus mencoba mengeluarkannya sendiri."


Aku menatap Paman Azel keheranan. Kemudian menurutinya, tapi aku bingung, gimana caranya coba? "A-aku tidak tahu caranya, Paman."


Paman Azel mengeluarkan nafas panjang, mengusap dahinya yang berkerut melihatku. "Energi itu tersimpan di sel-sel yang di sepanjang aliran darahmu, Naya. Kumpulkan energi itu di jantungmu, kemudian alirkan ke tangan. Kamu harus mencoba merasakan sumber energi yang ada di seluruh tubuhmu, aku tidak bisa mengajarkan hal mendasar, Naya, karena elemen petirku jauh berbeda dengan elemen apimu. Aku hanya bisa memancingnya seperti tadi, sekarang cobalah sendiri," jelas Paman Azel.


Aku mengangguk, menuruti Paman Azel. Kupejamkan mata lagi, konsentrasi untuk melakukan apa yang dikatakan Paman Azel. Merasakan setiap titik energi yang ada di tubuhku. Mengumpulkannya ke jantung dan mengalirkannya ke tangan. Saat kubuka mata lagi, bola api itu tak muncul di telapak tanganku. Aku mencobanya lagi, dan kembali bola api itu tak muncul. Sejenak kuangkat kepala, melihat mata Paman Azel yang memandangku penuh selidik. Kemudian aku menggeleng dengan perlahan.


"Ini tugasmu, Naya. Kamu tadi sudah merasakan energi itu mengalir di tubuhmu, sekarang cobalah melakukannya sendiri, masih ada waktu sampai matahari terbit." Paman Azel berdiri. Meninggalkanku yang kebingungan di atas salju yang kembali terasa dingin.

Lihat selengkapnya