Setelah matahari tenggelam, aku tetap gagal mengeluarkan bola api dari tanganku. Ini menyebalkan, atau lebih tepatnya mengecewakan. Huh! aku tak harus bagaimana untuk menguasai teknik dasar ini, Paman Azel juga tidak bisa membantu banyak, dia bilang hanya aku yang tahu caranya. Masing-masing pengendali elemen kehidupan memiliki teknik dasar yang berbeda-beda dalam mengendalikan energi mereka, itulah jawab Paman Azel saat aku bertanya tadi.
Sebelum melanjutkan perjalanan, kami makan malam terlebih dahulu dengan ikan. Ini untuk keempat kalinya aku memakan ikan tanpa nasi. Perutku benar-benar tidak bisa menahan lagi jika tidak memakan nasi. Apalagi aku juga mengeluarkan banyak tenaga untuk latihan yang tidak ada hasilnya. Tapi aku tidak ingin protes, toh kami semua memakan makanan yang sama.
Setelah selesai makan, Adara dan Reiga mengeluarkan tiga obor dari tumpukan barang di tubuh si cokelat. Untuk kemudian mereka menyalakannya dengan api unggun. Aku memperhatikan wajah mereka berdua dan juga Paman Azel, masih segar dan tenang. Padahal aku sudah merasa sangat kelelahan.
"Apa kita tidak bermalam disini, Paman?" tanya Yasa yang juga terdengar lelah.
"Tidak, Yasa. Kita harus sampai ke Kelden malam ini juga. Aku tidak tahu misi apa yang akan diberikan ratu untukku. Jika kita terlambat ke Kelden, aku takut tidak akan tepat waktu mengantar kalian ke Bumi," jawab Paman Azel yang baru saja selesai meneguk air dari gelas bambunya.
Yasa mengembuskan nafas berat, dia benar-benar terlihat letih karena mengeluarkan banyak tenaga untuk latihan tadi.
"Jangan mengeluh, Yasa. Proses ini akan membuat tenaga dalammu menjadi lebih besar. Jika kamu tidak memaksa tubuhmu yang lelah untuk tetap kuat, titik-titik energimu tidak akan berkembang." Adara memberi semangat untuk Yasa.
Wajah Adara terlihat ramah mengatakan itu, dia sepertinya paham dengan keluhan Yasa. Dia kemudian menoleh kepadaku dan tersenyum. Aku menunduk seketika, melihat api unggun yang masih menyala.
"Apa hidupmu di Bumi enak, Yasa?" Reiga ikut berbicara, "kamu terlihat tidak suka sekali dengan kehidupan kami disini. Jika disana lebih baik, apa kami juga bisa pindah kesana, migrasi seperti kakek dan nenek kalian dulu."
"Hei! Apa yang kamu katakan, Reiga? kita punya tugas besar untuk mengembalikan Pangeran Sena ke tahtanya, jangan berpikir untuk pindah ke Bumi. Itu bukan kehidupan kita." Paman Azel kemudian berdiri, "matikan apinya, sekarang kita lanjutkan perjalanan, kita harus sampai di Kelden sebelum tengah malam."
Adara dan Reiga menurut patuh dan lekas bangkit. Reiga kemudian melempar batu kecil kepada Yasa, membuat Yasa menoleh kepadanya dengan sedikit kesal. Tapi Reiga hanya santai, dia tersenyum simpul.
"Matikan apinya, Yasa. Aku mau mengambil kuda kita dulu," ucap Reiga.
"Ih, anak ini." Yasa menuruti ucapan Reiga dengan wajah cemberut, dia mengangkat tangan dan menyiram api unggun dengan air dari tangannya.
"Sabar, Yas. Reiga anaknya memang usil, sama seperti kamu, anggap saja ini karma," ejekku melihat wajah masam Yasa.
Yasa menggeram, menahan kesal. Ia kemudian berbalik menyusul Reiga untuk naik ke punggung si hitam. Aku terkekeh melihatnya.
Perjalanan pun kami lanjutkan. Si putih terlihat masih gagah dan sangat kuat untuk membawaku dan Adara. Udara malam terasa dingin karena si putih yang berlari kencang. Aku merapatkan tubuh ke punggung Adara yang terasa hangat seraya memegang obor untuk menambah pencahayaan.
"Kamu kedinginan, Nay?" tanya Adara.
"Tidak, ini masih normal," jawabku dengan pelan.