Setelah sarapan, Paman Azel menemui kami, mengajak untuk ikut dengannya ke tenda utama. Tenda besar berwarna biru itu terlihat bersih dan mewah dari tenda-tenda lainnya. Di depannya ada empat prajurit berjaga memegang trisula. Mereka lekas membukakan pintu tenda dan memberi kami ruang untuk masuk. Laura yang dari tadi terus menempel denganku terpaksa tinggal di luar, dia tidak diizinkan masuk oleh prajurit.
Tenda yang luas itu terlihat terbagi lagi dengan beberapa ruang yang dibatasi dinding kain berwarna biru muda. Obor menyala sebagai penerangan di dalam. Di ruang depan tenda, terlihat beberapa kursi serta tombak tersusun yang rapi di tempatnya. Prajurit yang juga berjaga disana menyibak pintu kain mempersilahkan kami untuk masuk ke ruang tengah.
Ruangan tersebut sangat luas, karpet disana berwarna merah, bersih tanpa noda. Jendela tenda di kiri kanan terbuka, membuat cahaya matahari masuk menerangi ruangan tersebut. Disana terlihat Hazor yang ternyata adalah seorang jenderal tengah duduk dengan sikap tegap bersama dua prajurit yang memegang tombak mengawalnya. Di dekatnya ada seorang perempuan yang seusia dengan Paman Azel dan Hazor.
Perempuan itu terlihat cantik, putih bersih. Pakaiannya juga putih berbahan linen mengkilap dan indah seperti gaun, ditambah hiasan kain sutera merah. Dia memakai jubah biru muda, di kepalanya ada mahkota berwarna putih keemasan. Wajahnya tenang dan berwibawa. Perempuan itu melihat kepada kami dengan tersenyum hangat. Paman Azel membungkuk memberi hormat, begitu juga dengan Adara dan Reiga. Aku dan Yasa saling tatap sejenak, bingung dengan keadaan, kemudian kami memilih untuk ikut membungkuk.
"Duduklah, Azel," perintah perempuan yang kutebak dia adalah Ratu Meera yang disebut-sebut oleh Paman Azel kemarin.
"Terima kasih, Ratu." Paman Azel duduk di depan Ratu Meera, beralaskan karpet merah, sementara Ratu Meera duduk di kursi mewah berwarna putih dan hiasan keemasan.
"Hei, Adara. Kamu sudah kembali." Suara seorang anak laki-laki mengagetkan kami. Aku menoleh sejenak. Astaga! dia tampan sekali, lihatlah kulitnya putih, rambutnya kecoklatan, matanya biru dan penuh wibawa. Dia terlihat seusia dengan kami, dan hei! lihatlah, dia tersenyum dengan menawan menatap kami. Aku terpana melihat senyumannya.
"Selamat pagi, Pangeran. Senang bertemu denganmu lagi," sahut Adara menunduk memberi hormat.
Bisa kutebak dialah Pangeran Sena yang kemarin dibicarakan Adara. Ia menoleh kepadaku dan tersenyum ramah. Aku menelan ludah, laki-laki tampan itu membuat jantung berdetak cepat tak karuan. Dia benar-benar tampan, sangat pantas disebut sebagai seorang pangeran. Seperti dongeng-dongeng yang kubaca, pangeran itu memang tampan menawan, membuat siapa saja yang melihatnya akan terpana takjub.
Pangeran Sena kemudian duduk di samping Ratu Meera. Aku memilih menunduk, tidak memperhatikan seperti apa ruangan yang cukup besar itu. Takzim mendengarkan pembicaraan Paman Azel dengan Ratu Meera.
"Jadi ini dua anak temanmu dari Tarmas itu, Azel?' tanya Ratu Meera. Sepertinya Paman Azel tidak mengatakan kami kalau dari Bumi, tetapi dari Tarmas—tempat bersalju lokasi lorong ke Bumi berada.
"Iya, Ratu. Aku akan membawa mereka dalam misi kali ini."
"Sebaiknya tinggalkan saja mereka disini, Azel, misi ini akan memakan waktu lama."
"Tidak, Ratu. Maaf, mereka tanggung jawabku, aku sudah berjanji dengan orang tua mereka," jawab Paman Azel dengan penuh hormat.
"Kalian akan pergi ke Desa Azaran di Krupa, Azel. Butuh waktu sampai sepuluh hari untuk kembali lagi ke sini. Sebaiknya tinggalkan saja mereka disini dulu." Jenderal Hazor mendukung usulan Ratu Meera.
"Krupa?" tanya Paman Azel.
"Iya, Azel" sahut Ratu Meera, "misimu mengirimkan surat diplomasi kita ke pimpinan Desa Azaran di Krupa. Kita sudah mendapatkan beberapa sekutu, semoga saja orang-orang di sana mau bersekutu dengan kita."
Pembicaraan mereka tak berlangsung lama, Paman Azel hanya menurut patuh pada perintah Ratu Meera. Dia menyanggupi misi itu, tapi aku sedikit gamang. Jika perjalanan itu butuh waktu sepuluh hari, berarti aku dan Yasa tidak akan pulang tepat waktu kembali ke Bumi. Bisa kacau proses kami untuk mendaftar ke SMP. Lalu gimana dengan Ayah dan Ibu? Mereka pasti akan sangat khawatir dengan keadaanku.
"Sebaiknya dua anak ini kamu tinggalkan saja disini, Azel. Itu jauh lebih aman." Jenderal Hazor kembali membahasku dan Yasa diakhir pembicaraan.
Aku mengangkat kepala, memandang Paman Azel yang melihatku dan Yasa secara bergantian. "Tidak Hazor, mereka akan tetap ikut denganku, janji seorang petarung tidak akan pernah kuingkari. Aku sudah berjanji kepada orang tua mereka."
"Baiklah, jika itu keputusanmu, aku mengizinkannya, Azel," ujar Ratu Meera, "tapi jangan sampai mereka menjadi bebanmu dalam misi ini."
"Aku akan melaksanakan misi ini sebaik mungkin, Ratu," jawab Paman Azel dengan percaya diri.
"Aku tidak bisa memberimu banyak prajurit untuk misi ini, Azel. Dua prajurit aku rasa cukup untuk mengawal surat itu sampai ke Krupa." Jenderal Hazor kembali bersuara.
Paman Azel mengangguk, dia berdiri, Adara dan Reiga juga. Aku dan Yasa yang duduk paling belakang ikut berdiri, kami semua membungkuk memberi hormat kepada Ratu Meera dan Pangeran Sena. Kemudian keluar dari tenda utama setelah Paman Azel menerima surat yang akan kami bawa ke Krupa.
Di luar tenda, Laura masih berdiri menungguku, aku kaget melihatnya. Kenapa dia selalu menempel denganku sejak kami datang semalam? Ada apa dengan anak itu?
"Hei, Laura. Kenapa kamu disini? kembalilah ke tenda anak-anak, bermain disana," ketus Reiga kepada anak polos itu yang tengah melihatku dengan tersenyum dan menggerak-gerakkan kepalanya lagi.