Dua baris bangku tepat dibelakang supir hari ini lengang. Mungkin akan terasa nyaman jika ada bangku yang kosong, harap setiap pagi menuju sekolah. Tapi kenapa malah terasa aneh? Maklum, rutinitas sesak setiap pagi sepertinya sudah jadi default setting buat gue.
Wajah–wajah yang sudah tak asing setiap hari berpapasan, keluhan tentang naiknya harga sembako atau om Anto yang selalu mengeluhkan tentang kelakuan anaknya yang semakin hari semakin tidak bisa di atur. Rasanya hampir satu tahun terakhir gue sudah jadi pendengar yang baik, buat pa supir yang rajin marah karena ada saja penumpang yang selonong boy ga bayar, atau mesranya obrolan teh Putri dan pacar sepanjang perjalanan menuju sekolah.
Tak seperti anak kelas 10 pada umumnya, gue lebih nyaman bicara dan tidak jarang membuka obrolan dengan orang yang jauh lebih tua, terutama lansia, ibu-ibu yang baru pulang dari pasar jadi pengecualian, karna randomnya mereka dan ga jarang gue harus dengar setumpuk keluhan yang mereka alami di pasar, duhh. Hampir separuh penumpang bus berkapasitas 20 – 30 ini sudah familiar dengan wajah gue, mungkin karena rutinitas dan kecenderungan gue dengan mereka.
Dari semua barisan kursi tak terlihat adanya pa Ajiz, jangan-jangan dia sakit, duh moga aja engga. Ya, bapak berumur sekitar 50 – 60 tahunan, penumpang terfavorit gue di bus, lansia yang masih rajin berangkat pagi dan pulang petang, kemeja biru bergaris putih yang sudah kusam serta celana bahan berwarna coklat pekat yang selalu beliau kenakan, beliau pekerja bangunan di salah satu komplek perumahan yang sedang dibangun. Pembangunan sedang banyak di lakukan disana, tak heran setahun terakhir beliau rutin naik bus pagi dan berpapasan.
Beliau selalu menyapa dan menanyakan hal yang sama, "Gimana sekolahnya, sudah nyaman belum?" Pa Ajiz hampir satu minggu sekali melontarkan hal yang sama. Maklum, beliau sudah banyak sekali mendengarkan tentang keluhan gue, tentang gue yang tidak suka bicara dengan teman kelas, rasa tidak percaya gue terhadap orang-orang disekitar dan betapa ga betahnya gue diekolah. Yap, gue ga punya teman. Dari sekian banyak keluhan yang gue lontarkan ke pa Ajiz beliau tidak pernah menyanggah semua keluhan itu, berbeda dengan kebanyakan orang dewasa yang merasa dirinya telah banyak memakan asam garam kehidupan, katanya.
Beliau sabar mendengarkan, alih-alih memberikan masukan tentang pertanyaan ke kanak-kanakan gue, beliau cenderung bercerita tentang pengalamannya, yang secara tidak langsung memberikan jawaban telak atas segala sifat dan kejanggalan gue. Namun tetap, mata hitam beliau yang sudah mulai mengabu selalu terasa hangat, penyampaiannya, gestur tangan dan tidak jarang sambil meluruskan topi sekolah yang gue kenakan, wah.
Layaknya pemalas dengan mata minus, namun masih memaksakan duduk di bangku paling belakang kelas, seberapapun keras usahanya untuk menuliskan catatan yang ada di papan tulis percuma saja, beli keca mata! setidaknya tanyakan pada teman sebelahmu, atau lihat catatannya.
Analogi ini sepertinya tepat, bukan teman kelas yang gue tanya, tapi pa Ajiz. Rasanya membeli kacamata hanya memperkeruh, makin memperjelas tingkah laku mereka dan menambah ketidaksukaan gue terhadap orang disekitar, sia-sia.