Bumi di Merkurius

aes munandi
Chapter #3

Pondok Kayu

Suara menenangkan dari angin dan gerimis yang menimpah atap, dari jendela yang sudah sedikit berembun terlihat pohon besar berdiri tegak. 

"Ah, di mimpi lagi" sambil menurunkan sedikit posisi bahu. 

"Aneh.." gue bisa membedakan dengan jelas mana mimpi dan bukan, tapi tidak pernah bisa membedakan kapan tepatnya transisi dari dunia nyata ke mimpi. 

Seperti dejavu. Mencengkram rambut, menghirup udara sebanyak banyaknya hingga mengisi rongga paru-paru kemudian menahan untuk sekian detik, pupil mata terasa membesar ketika menyadari mimpi ini seperti mimpi sebelumnya. 

"Wah, hembusan hangat dari nafas pun terasa senyata ini." dengan mata terbelalak sambil memutar kepala melihat setiap sudut yang ada di pondok kayu.

Dari luar pintu terdengar jelas suara pecitan anak ayam. Dengan sigap melangkah cepat menuju pintu keluar, sesampainya tangan menggenggam gagang pintu yang sedikit usang, dengan rusuh gue menarik pintu kuat-kuat, Gubrakk!! Cahaya matahari yang langsung menyorot kearah pintu lekas merubah posisi tangan menutup mata, "Wah, terang banget" dari celah antara ibu jari dan telunjuk tangan terlihat anak ayam yang lari berhamburan, kaget karena suara bantingan pintu yang di tarik dengan rusuh.

"Yah, pada kaburkan! Pelan-pelan dong!!" suara wanita yang sedikit membentak.

"Hah!" bahu dan rongga dada mengembang terkejut karena mendengar suara perempuan yang sudah tak asing lagi. Membuka telapak tangan yang menutupi wajah karena cahaya, terlihat jelas, sosok perempuan yang ada di mimpi sebelumnya. 

Tanpa alas kaki, dengan baju kodok coklat muda yang sudah longgar dan kaos putih sebagai dalamnya, Bergeming tanpa sepatah kata. Mata ini benar-benar tidak singkron dengan otak, pandangan sepenuhnya tertuju pada seorang gadis cantik tanpa alas kaki yang sedang membawa mangkuk hijau. Namun otak masih berpikir keras, tentang mimpi bukan kah ini? kenapa gadis yang sebelumnya ada di sini? 

Cahaya matahari membuat gerimis sehalus jarum seperti miliaran berlian yang jatuh dari langit, ditambah dia yang masih berdiri, memasukan lengan kirinya ke dalam saku pada kantung baju kodok sambil menekuk kedua alis, sepertinya karena anak ayam tadi.

"Oi malah bengong lagi, kabur semua noh anak ayamnya" dengan wajah masam berjalan kearah gue. Masih bergeming. "Dih, malah bengong lagi!" dia yang kembali menegaskan.    

"I--i ini dimana? K--- k--kamu siapa?" masih dalam keadaan bingung sampai tergagap. 

"Huhhhhh" dia membuang nafas sambil membenahi rasa kesal karena ayam yang sudah kocar kacir tadi. 

"Ok. Pertama, aku bukan setan. Kedua, kita sedang ada di atas Kasur"

"Hah..?" sontak menyahut

"Ya, di mimpi kamu, sekarang tuh kamu lagi ada di mimpi kamu sendiri," ucapnya sambil menepuk-nepuk kedua tangan, membersihkan sisa makanan ayam. 

Kamu, aku, rasanya gue harus merubah kosa kata jadi lebih sopan, karena sedari awal dia pun sudah seperti itu. 

"Terus kamu siapa? jangan bilang kamu cuma khayalan aku" bertanya dengan serius.

"Bukannya kamu pernah bilang, Moga aja ketemu dia lagi , setidaknya punya teman meski cuma dimimpi.  Kamu bilang gitu kan" ledek dia menaikan alis sebelah kirinya." Masih dalam ingatan, dia bisa tau apa yang ada di dalam hati gue, tapi itu kan dimimpi. Kata-kata itu juga gue ucapin sebelum tidur, yang artinya dia juga melihat gue yang dalam keadaan sadar. 

"Kenapa kamu bisa tau?" tanya gue.

Lihat selengkapnya