Bumi Kelabu

Muhammad Adlin
Chapter #1

BAB 1 : Bandit

KAU TAK AKAN BISA LARI…!

Suara itu menggema di antara pohon-pohon raksasa. Parau. Tawanya bengis. Seolah mengumumkan pada seisi hutan, dia adalah predator yang sedang menikmati perburuan.

Bunyi tonggeret menderu, nyaring seperti alarm yang tak bisa dimatikan. Sekumpulan gagak berkoak-koak, terbang dari timur ke barat, seolah membawa firasat buruk. Seekor burung hantu memiringkan kepala, matanya tajam, mengamati sesuatu yang bergerak di balik bayang-bayang.

Dedaunan kering berkeresek di tiap pijakannya. Gadis itu tersengal-sengal. Dadanya berdegup kencang, napas memburu. Kulitnya yang pucat makin kehilangan warna. Semakin cepat ia berlari, pandangannya semakin buyar, kelelahan—tapi tak boleh berhenti. Berhenti sama dengan mati.

Gadis itu melompati akar yang melintang, menghindari dahan yang menghalang. Tubuh kurusnya gesit bermanuver. Semak belukar diterobos tanpa peduli duri yang mencabik kulit. Menunduk. Melompat. Lari sekuat tenaga. Napasnya semakin berat.

Kedua lengan menyilang depan wajahnya saat menerjang semak di depan. Lalu—

Tubuhnya melayang. Pijakannya menghilang.

Satu detik terasa abadi.

Matanya membelalak, dan dadanya mencelos.

Lita terjun bebas ke dalam jurang. Tubuhnya menghantam tanah yang curam. Berguling-guling. Lima detik. Sepuluh detik. Setiap detik menambahkan luka baru. Lalu—

 Bug!

"Agh..." Tubuhnya terhempas ke tanah. Kepala membentur batu. Tenggorokan tercekat menahan nyeri. Kesadaran menipis. Telinga berdengung. Dunia berputar di sekelilingnya. 

Lita berkedip berulang kali. Rasa sakit menjalar ke seluruh tubuh. Ia bangkit, lalu jatuh kembali. Kakinya terasa lumpuh.

Begitu pandangannya tak lagi buram—

Bukk!

Sebuah kayu balok menghantam wajahnya. Ia mengerang. Darah hangat mengalir dari pelipis. Napasnya terputus-putus. Dunia mulai memudar...

Pikirannya berkelebat. Ke malam sebelumnya…

Malam itu, empat orang bandit tengah menyiapkan tempat tidur gantung di menara seluler terbengkalai. Berbisik-bisik sambil mengikat tali di tiang reyot, sesekali menengok ke bawah.

Sanca menyeringai lebar. Lidahnya sesekali terjulur, seperti melihat sesuatu yang menggoda. Tangan menggantung di udara, satu mata mengagumi isi botol di tangannya.

“Bos pasti senang, kita bakal dapat imbalan besar!” ujar Satra lirih—menatap botol yang sama. Sanca meliriknya dengan sebelah alis terangkat.

“Atau kusimpan sendiri saja…?” Sanca seolah bertanya pada dirinya sendiri. “Benda ini bisa memberiku banyak hal. Kekayaan, kekuasaan, bahkan menentukan hidup dan mati.” Suaranya parau. Seolah sesuatu mengganjal di tenggorokannya.

Gatra melamat kata-kata itu. Tak mengerti. Dia belum pernah melihat benda semacam itu sebelumnya.

Asap mengepul di bawah redup cahaya bulan. Daun kering bergoyang dihembus napas bumi. Para bandit menghisap rokok filter berjamur—tanggal produksinya entah sudah berapa puluh tahun silam. Hutan di kaki bukit itu dilingkupi keheningan. Bunyi serangga sesekali diiringi erangan samar dari perut rimba.

“Bos, mending kita tidur sekarang,” ujar Ken. “Jangan sampai... mereka dengar.”

Jauh di bawah—tersembunyi dalam bayang tiang menara—seorang gadis mengamati mereka dengan waspada. Separuh wajahnya diterpa cahaya buram langit. Matanya tajam, pikirannya campur aduk antara geram dan takut.

Satu jam berlalu.

Bunyi burung hantu memantul di dedaunan. Angin malam menusuk. Gadis itu menggigil, tapi matanya masih terpaku. Ia menarik napas, menghembuskan ke tangan yang beku. Jemarinya menyentuh tiang besi menara. Dingin. Ia bergidik, tapi tak mundur. Kali ini tak ada keraguan. Hanya rasa takut.

Lita, mulai memanjat.

Tangan dan kakinya berpindah dari satu tiang ke tiang lain. Cengkeramannya erat. Langkahnya hati-hati.

Lima meter. Sepuluh. Tiga puluh meter.

Angin di atas lebih kencang. Nafasnya mengembun. Gerakannya senyap. Komplotan itu berada tepat di atasnya.

Lita menatap sekeliling. Matanya menyipit, mencari. Pandangannya terhenti pada sebuah tas yang separuh terbuka. Dari dalamnya menonjol botol yang ia kenali.

Ia menarik napas. Bergerak ke arah tas. Letaknya agak jauh dari tempat pijakannya. Jemarinya meraih…

Srekk

Lita salah pijak.

Udara tertahan di dadanya. Dunia melambat. Gravitasi menariknya. Tapi reflek bekerja lebih cepat dari pikirannya. Tangannya mencengkeram besi. Salah satu bandit bergeser, nyaris terjaga.

Tubuh Lita menggantung. Napasnya tercekat. Tiupan angin membuat tubuh kecilnya terayun di udara.

Ia mencoba lagi.

Jemarinya meraih tas dengan hati-hati. Resleting ditarik perlahan. Suara gesekan logam terasa seperti alarm—meski ia tahu, itu perasaannya saja. Dan… berhasil.

Tas menganga. Lita merogoh botol di dalamnya.

Lalu, tiba-tiba—

Plak!

Kulitnya mati rasa. Tangannya dicengkeram tanpa aba-aba. Mata itu melotot.

Lita menyentak. Turun terburu-buru. Sanca berteriak, membangunkan yang lain. “Bangun! Barang kita dicuri!”

Mereka panik.

Lita hampir terjungkal saat turun. Di atasnya, Sanca menyusul. Cepat.

“Jangan kabur kamu!!”

Begitu mencapai tanah, Lita melesat. Sanca melompat dari atas. Mendarat tepat di belakangnya. Lengannya dicengkeram erat. Gadis itu menyentak sekuat tenaga.

Srekk—!

 Jaketnya robek.

Ia melihat sekilas wajah Sanca—sayatan lebar di pipi, mata kanan seputih susu. Mengerikan. Tanpa pikir panjang, Lita melesat ke hutan.

Empat bandit mengejar.

Napasnya memburu. Tak tahu mana yang lebih ditakuti: bandit atau… sesuatu di dalam hutan.

Grrhkk…

Erangan mengerikan terdengar. Tapi tak menghentikan langkah Lita. Ia melesat jauh ke dalam kegelapan.

Para bandit terperanjat. Langkah mereka terhenti. Panik. Menoleh kanan-kiri.

Bayangan bergoyang dalam kabut.

 Krikk… Krekk…  Bunyi seperti tulang patah. Di kiri. Kanan. Depan. Segala arah.

 Hrrggk… Hhhrkk… Suara tenggorokan rusak yang dipaksa bernapas. Bau busuk menyeruak.

GRAAAAHHKK!!!

Pekikan mengerikan menerjang dari kegelapan.

Lihat selengkapnya