Di Balik Mata itu
Sebuah ruangan remang ramai oleh hiruk-pikuk, bercampur dengan gemerisik kain dan denting logam yang bergesekan. Embun tipis berembus dari mulut-mulut yang bercengkerama. Udara dingin menyelinap di rongga-rongga pakaian yang tak tertutup, menusuk hingga ke tulang. Jam dinding usang yang nyaris tertutupi sarang laba-laba di sudut ruangan menunjukkan angka dua pada jarum pendek, dan enam pada jarum panjang.
Darius bersandar di sudut ruangan. Pria tinggi besar dengan raut wajah selalu muram. Tangannya menggenggam senjata laras panjang—Kar98. Ia menarik kokang ke belakang, memastikan ruang peluru kosong sebelum menutupnya kembali. Jemari penuh bekas lukanya menyusuri tiap jengkal senapan, mencari tanda-tanda karat atau kotoran yang bisa menghambat tembakan.
Engsel pintu berderit pelan saat didorong seorang pria kurus dengan wajah berkeriput berbintik-bintik. Beberapa percakapan terhenti saat ia berjalan di tengah kerumunan.
"Chief," sapa orang-orang yang ia lalui. Chief Kan hanya mengangguk.
Darius tetap acuh. Dua hari berlalu sejak perampokan malam itu, dan sampai sekarang mereka belum bertegur sapa.
Chief Kan tiba di depan, berdiri tegap, matanya menyapu seisi ruangan, tangannya bersandar di pinggang. Ia membuka suara. "Regu patroli pagi melihat sekelompok Bangkai tak jauh dari menara timur," ucapnya lantang, memastikan semua telinga mendengar. "Mungkin bergerak ke jalan raya... Amad."
Pria jangkung dengan janggut tebal dan tanpa kumis mengangkat wajahnya.
"Pimpin patroli di menara timur. Sisir area sampai ke jalan raya. Jika ketemu, basmi sebanyak yang kalian mampu. Mundur dan lapor segera jika jumlahnya terlalu banyak, jangan paksakan diri."
Amad mengangguk mantap.
"Jerri, kau di menara utara. Danto di menara tenggara. Gilang di selatan. Rafi di timur lama." Mereka mengangguk tanpa ragu.
Chief mengembuskan napas berat, pandangannya nanar. "Seperti yang kalian tahu, dua malam lalu kita kecolongan di menara barat. Karena itu, aku sendiri yang akan memimpin patroli di sana." Ia merasa kejadian itu adalah tanggung jawabnya.
Matanya beralih ke pria murung di sudut ruangan.
"Darius... kau patroli di luar. Bawa delapan orang, masing-masing membawa kuda."
Darius mengangguk pelan menerima tugas itu.
"Selalu waspada..." Chief menatap setiap wajah yang ada di ruangan. Suaranya tajam. "Saling menjaga. Dan jika ada yang terinfeksi..."
Keheningan melanda ruangan. Semua paham.
"Kalian tahu harus berbuat apa."
Satu per satu anggota patroli meninggalkan ruangan, sementara Darius masih menyeka senapannya. Seseorang menepuk pundaknya dari samping. Amad.
“Wah, Bangkai pun jadi bisa bercermin di senapanmu,” godanya, mendekatkan wajah ke moncong
Darius menyingkirkan senapannya dari wajah Amad, disampirkan ke punggung, lalu berjalan keluar ruangan. Amad buru-buru menyusul.
Mereka berjalan beriringan, sepatu mereka menimbulkan derit di lantai kayu yang dingin. Suara angin mendesis dari celah jendela.
“Kudengar pembangkit listrik rewel lagi.” Amad memecah keheningan.
Darius mendengus pelan. “Tidak heran. Mesinnya sudah usang. Tiap dua hari ada saja masalahnya.”
“Ya… setidaknya masih bisa diperbaiki.” Amad mengangkat bahu. “Kalau sampai rusak total, kita balik ke zaman obor.”
Darius menyeringai kecil. “Kalau begitu, jadi tak repot-repot cas baterai senter tiap hari.”
“Iya, tapi aku tak mau hidup dalam gelap total.” Amad mendesah.
Beberapa saat hanya suara langkah dan desir angin yang terdengar. Amad melirik Darius dari sudut matanya. Ragu-ragu. Tapi akhirnya bertanya juga.
“Kau dan Chief... masih belum saling bicara, ya? Sejak malam itu.”
Darius menghembuskan napas panjang. “Sudahlah, nanti juga berlalu.”
“Tahu tidak? sebenarnya aku setuju denganmu. Harusnya kita kejar para bandit malam itu.” Wajah Amad serius. “Kalau masih zaman Chief Hakim, kita pasti sudah bergerak. Apa pun harganya.”
Darius tetap diam, tapi dalam hati ia setuju. Chief Hakim lebih tegas, lebih berani dibanding Chief Kan, penerusnya yang lebih berhati-hati.
Amad tiba-tiba terkekeh pelan. “Ingat waktu Chief Hakim menyuruh kita mengawasi sekelompok penyintas?”
Darius menutup mata, menolak membiarkan ingatan itu muncul.
“Dan kau—dan kau…” Amad menahan tawa. “Kau malah dituduh mengintip seorang wanita yang lagi ganti baju!”
Darius menghela napas. “Aku cuma lewat.”
Amad mengabaikannya. “Dia berteriak sekencang mungkin. Semua orang langsung berkumpul. Aku sampai harus jelaskan ke Chief Hakim kalau kau bukan mesum, cuma punya muka mencurigakan!”
Amad tertawa keras. “Kau ingat wajah Chief? Dia menatapmu lama, lalu cuma bilang, ‘Wajahmu memang mencurigakan.’ ”
Darius hanya bisa mengembuskan napas panjang.
Setelah puas menertawakannya, Amad tiba-tiba menatapnya serius. “Tapi kau betul-betul tak mengintip, kan?”
Darius mendengus, lalu tanpa peringatan—mendorong Amad hingga nyaris tersungkur.
“Oi!” protes Amad, masih tertawa.
Darius menggeleng pelan, tapi bayangan senyum tetap bertahan di sudut bibirnya. Sekilas, hanya sekilas, kesuraman di wajahnya tersingkap.
Canda mereka perlahan mereda, digantikan bisu yang menggantung di antara kabut dan langkah kaki.
Di sepanjang jalan, penduduk bergerak dalam ritme lambat namun pasti, ada yang menimba air dari sumur tua, menjemur pakaian meski matahari nyaris tak menembus kabut, menambal atap dengan karung goni, atau menukar kaleng bekas dengan segenggam jamur kering, di pojok gang; anak-anak bermain dengan roda logam berkarat, sementara para ibu mengaduk panci di atas api kecil, raut kelelahan terpancar dari wajah banyak orang, membatu dalam harapan yang nyaris padam. Di sudut jalan yang becek, seorang pria tergeletak di lumpur, botol pecah di tangannya, napasnya berat dengan aroma fermentasi jamur busuk—tidak ada yang peduli, atau berusaha membangunkannya. Di dunia seperti ini, mabuk adalah salah satu cara melarikan diri.
Dunia ini masih bernapas di atas bumi yang nyaris hancur. Di langit, matahari hanya menggantung redup—cahayanya terhalang kabut tebal yang tak kunjung sirna sejak puluhan tahun lalu. Kabut itu seperti tirai kelabu, menelan warna dan waktu, menyisakan dunia yang berjalan dalam senyap dan kesuraman.
Kedua sahabat itu berpisah di persimpangan. Amad menepuk bahu Darius sekali lagi. “Sampai jumpa nanti malam.”
Darius melambai singkat, lalu melanjutkan langkah tanpa menoleh lagi.
Udara siang menggantung dingin, menusuk kulit seperti bayang-bayang yang enggan pergi. Ia berjalan dalam diam, membiarkan langkah kakinya menyatu dengan derit papan dan gemerisik kabut yang turun perlahan.
Saat tiba di kandang kuda, anggota regunya sudah lebih dulu datang. Mereka menyiapkan peralatan masing-masing dan memastikan pelana terpasang erat.
Pak Wayan, Jaras, Raka, Darmaji, Baskara, Satrio, Ganindra, dan Rangga. Anggota patroli yang telah banyak makan garam, kecuali Rangga—pemuda hijau yang direkrut karena kekurangan orang.
Darius mendekati Saka, seekor kuda putih yang berdiri tegak dengan mata tajam mengamati sekeliling. Ia mengelus leher kuda itu dengan lembut.
Lalu, Darius berdiri di hadapan anggota regunya. Wajahnya tetap muram. “Kita mulai menyisir dari hutan pinus, lanjut ke air terjun, terakhir ke jurang di ujung bukit.” Ia menarik napas dalam. “Terakhir aku patroli di sana bersama Pak Wayan—” pandangannya beralih ke pria berkumis tebal dengan udeng kusam kekuningan. “Kami diserang puluhan bangkai. Jadi jangan lengah. Jika kalian melihat sesuatu yang mencurigakan, laporkan segera. Jangan bertindak gegabah.” Kalimat terakhir ia tujukan pada Rangga.
Yang lain mengangguk pelan dan kembali melanjutkan persiapan.
Darius mendekati Rangga, memandanginya sejenak. “Sudah pernah pegang senjata?”
Pemuda enam belas tahun itu mengangguk mantap. “Sejak usia sembilan tahun, Chief.”
Darius mengembuskan napas. “Kau tanggung jawabku. Jangan jauh-jauh dariku. Aku tak ingin kau terbunuh di patroli pertamamu.”
Rangga kembali mengangguk. Darius menyerahkan beberapa peralatan patroli padanya.
“Dan panggil aku Darius. Aku bukan Chief,” tambahnya sebelum pergi.
Satrio lewat sambil menepuk pundak Rangga—agak terlalu keras hingga tubuh kurus pemuda itu terguncang.
Mereka menuntun kuda melewati jalanan distrik yang ramai. Udara dingin masih menusuk meski matahari menggantung tinggi. Ranting pohon bergerak kaku tertiup angin, membawa aroma tanah lembap dan kehampaan.
Pasar di samping gerbang utara dipadati orang-orang distrik dan para penyintas. Mereka saling tawar-menawar dalam kerumunan yang bising dan letih—menukar perabotan usang, obat-obatan langka, senjata bekas, bahkan kepuasan semu. Nilai tukar tertinggi? Makanan. Di dunia yang nyaris runtuh, sepotong roti serangga bisa lebih berarti daripada sekantong peluru. Emas kini hanya logam kuning yang tak bisa dimakan.
Dari pasar yang hiruk-pikuk, Darius dan regunya tiba di sebuah gerbang besi penuh karat. Di atasnya, sebuah portal melintang bertuliskan: Distrik 79. Dulu. Kini, beberapa hurufnya telah tanggal.
Darius menatap sekilas ke arah distrik di belakang. Kehidupan yang masih bertahan di balik tembok tinggi—retak, tapi tetap berdiri.
Ia menarik napas panjang. Besi tua itu berderit keras saat dibuka penjaga, menggemakan suara keheningan. Udara luar menerpa wajah mereka, membawa bau tanah lembap dan dedaunan membusuk. Darius bertatapan dengan regunya. Satu hentakan pelan pada tali kekang membuat kudanya mulai berjalan. Tanpa banyak suara, regu itu bergerak.
Pluk... Pluk... Pluk... Derap kuda tenggelam dalam lumpur basah, seolah bumi enggan melepaskan setiap langkah makhluk yang masih bernyawa. Setiap pijakan meninggalkan suara lengket, menciptakan gema samar di antara kabut yang menggantung rendah di permukaan rawa. Embun menempel pada kaki kuda, bercampur dengan lumpur, meninggalkan jejak yang segera hilang ditelan tanah hitam.
Seekor tikus melompat dari ranting ke ranting, hidungnya mengendus-endus, matanya lincah mengamati rombongan berkuda yang menyusuri rawa. Srett! Anak panah melesat, membelah udara. Cletak! Mata panah menancap di tengkoraknya, tubuh kecil itu tersentak dan jatuh terjerembap di lumpur hitam.
Baskara memutar kudanya, mendekati tubuh kecil yang kini tak bernyawa. Ia meraih ekornya, mengangkatnya ke udara. Bulu hitam itu kuyup oleh lumpur dan darah. “Lumayan, makan malam,” gumamnya, sebelum menggantung tikus itu di samping tas ranselnya.
Di tengah kesunyian, hanya terdengar desis api saat Pak Wayan menarik napas dalam dari rokok lintingannya. Ia menghembuskan asap perlahan, membiarkan kepulan putih itu bercampur dengan kabut tipis. Tanpa suara, ia mengulurkan rokok itu pada Jaras, yang menerimanya dengan suka cita, menggigit ujungnya, menarik napas dalam, lalu menghembuskannya ke udara dingin. Rokok itu berpindah tangan dari satu anggota ke yang lain, kepulan asapnya menyatu dengan embun yang menggantung di bumi.
Satu jam berlalu. Rawa berlumpur yang menyerap langkah kini berubah menjadi jalur berbatu berlumut. Air di sela-sela batu mengalir lebih jernih, tapi hawa lembap masih menusuk kulit.
Darius turun dari pelana, mengelus bulu kudanya sebelum berjalan ke sesuatu yang menjuntai dari pohon. Ujung talinya hangus. Ia menoleh—tali-tali lain di pohon sekitar juga terbakar. Wajahnya mengeras.
“Rangga,” panggilnya. “Bawakan peledak yang tadi kuberi.”
Rangga segera turun dari kudanya, membuka tas selempang, menyerahkannya ke Darius. Dengan cekatan, ia merakit ulang perangkap, dibantu Ganindra, Raka, dan Baskara. Rangga memperhatikan lekat-lekat, mencoba memahami setiap detail mekanismenya.
“Ini perangkap tarik,” ucap Darius datar. “Meledak ketika ditarik… Pemicu disambung, pin dilepas, tanam di tanah dangkal… Tutupi daun, lalu baluri dengan cairan ini.” Tangannya cekatan.
Rangga mengernyit saat mencium aroma menyengat dari cairan berlendir yang dituang ke dedaunan. "Apa itu?"
"Feromon busuk," jawab Darius singkat. "Membangkitkan selera Bangkai." Cairan itu ia simpan dalam botol kecil yang tertutup rapat.
Selesai, Darius menyerahkan botol itu pada Rangga.
"Sekarang, kau coba."
Rangga menelan ludah. Tangannya sempat menggantung di udara sebelum bergerak. Ia menatap tali, lalu peledak, lalu ke botol.