Badai dan Bangkai
Geraman terdengar dari balik pepohonan di ujung tebing.
Satu Bangkai muncul sebelum mereka sempat bernapas lega.
Lalu satu lagi.
Dan satu lagi.
Mereka bergerak cepat.
Satrio mengumpat. “Bangsat!” Lalu mengayunkan parangnya, nyaris memenggal satu Bangkai yang melompat padanya, tapi makhluk itu bergerak tak terduga, merunduk, lalu menerjang perutnya. Panik, Jaras menembakkan senapannya, satu peluru menembus kepala, tapi dua Bangkai lain sudah berlari ke arahnya.
Angin menghantam keras dari timur.
Badai telah tiba.
Dedaunan dan ranting beterbangan seperti pecahan kaca di tengah gelap. Hujan es kecil mulai turun, menghantam kepala dan bahu mereka.
“NYALAKAN SENTER!!” seru Baskara.
Cahaya darurat menyala di tangan mereka, menembus gelap, tapi malah memperjelas pemandangan mengerikan di sekitar.
Puluhan Bangkai mulai muncul di antara pepohonan.
Lita menoleh ke kanan tepat saat makhluk itu menerjangnya dari samping. Tubuhnya terdorong dari atas kuda, jatuh ke tanah. Kuda itu meringkik. Kedua kaki depannya terangkat—lalu ia melesat ke dalam kegelapan. Tangan kotor dengan kuku panjang melesat ke arah wajahnya.
Dengan refleks, Lita menarik belati dari ikat pinggangnya dan menusuk mata Bangkai itu. Makhluk itu meraung, tapi tetap meronta. Lita mengangkat lututnya, menendang tubuh makhluk itu menjauh—sampai sebuah belati panjang menembus kepalanya dari belakang. Darius.
Lita terengah, lalu menatap sekilas. Darius tak berkata apa-apa. Ia menarik belatinya kembali, sebelum menoleh ke sekeliling.
Mereka terdesak.
Di belakang, hanya ada tebing.
Di depan, Bangkai yang semakin banyak.
Salju bercampur abu berputar liar di tengah angin badai. Geraman Bangkai menggema dari segala arah, memantul di antara tebing yang menjepit mereka. Pedang dan kapak beradu dengan tulang, menciptakan suara retakan mengerikan.
Darius menebas satu Bangkai yang melompat ke arahnya, belatinya membelah dada makhluk itu. Tapi sebelum bisa menarik napas, satu lagi datang dari kiri. Ia menghindar, mengayunkan sikunya ke wajah Bangkai itu, lalu membabat lehernya. Kepala itu nyaris putus, tapi makhluk itu masih mencoba bergerak. Dengan geram, Darius menginjak kepalanya hingga tak lagi meronta.
Di dekatnya, Baskara menghantamkan kapaknya ke dada Bangkai, lalu menariknya keluar dengan satu hentakan kasar. Pak Wayan mengayunkan caluknya dengan tenaga penuh, membelah kepala makhluk yang menerjangnya. Rangga menembak satu, dua, lalu tiga Bangkai lagi dengan pistol. Ia menarik pelatuk berkali-kali hingga suara klik kosong terdengar—kehabisan peluru.
“Raka, kiri mu!” suara Jaras berteriak.
Terlambat.
Bangkai menerjang Raka dari belakang, menjatuhkannya ke tanah. Ia menggeram, berusaha meronta, tapi dua tangan Bangkai itu sudah mencengkeram bahunya.
“ARGHH!”
Darius bergerak, tapi sebelum sempat menarik Raka, satu Bangkai lain mencabik perutnya, mencakar ke dalam hingga darah bercipratan ke tanah beku.
Raka menjerit.
Rangga menoleh dengan mata melebar. “TIDAK—!”
Ia dan Jaras berusaha mendekat, tapi sudah terlambat.
Bangkai-bangkai lain langsung mengerubungi tubuh Raka, mencabik-cabiknya tanpa ampun. Jeritannya menghilang dalam geraman rakus mereka. Lita membekap mulutnya, berusaha menahan rasa mual.
Darius menggertakkan giginya. Dadanya naik turun, marah dan panik bercampur menjadi satu.
Bangkai terus berdatangan. Kewalahan. Sialan! Mereka tak pernah menghadapi Bangkai sebanyak ini.
Erangan kuda yang berlarian panik menggema dalam kekacauan.
Ganindra mengayunkan goloknya, menebas satu Bangkai, tapi dua lainnya menerjangnya dari belakang.
Tangan-tangan kurus mencengkeram bahunya, kuku menancap menembus kulit.
“ARGHH!”
Darius berbalik, langkahnya terhenti saat melihat dua Bangkai itu menarik Ganindra ke dalam kegelapan.
Ia langsung mengangkat senapannya—
Dor!
Tembakan pertama tepat mengenai kepala salah satu Bangkai, otaknya berhamburan, dan tubuhnya tersungkur ke tanah.
Tapi sebelum Ganindra sempat melepaskan diri, satu Bangkai lain muncul dari kegelapan. Tangannya menjulur—dan mencengkeram erat pergelangan kakinya.
Dor!
Peluru kedua menghantam leher makhluk itu, tapi tak cukup untuk membuatnya lepas. Ia menarik kokang senapannya, siap menembak lagi—
RAAAKH!
Bangkai lain menerjang dari samping! Darius nyaris tak sempat bereaksi saat makhluk itu menubruknya, mencakar jaketnya hingga robek. Ia merosot ke tanah, tubuhnya bertabrakan dengan batu.
Ganindra makin terseret ke dalam bayangan pekat di antara pepohonan.
Darius berusaha bangkit, tapi Bangkai di atasnya terus menggeram, mencoba menggigit lehernya. “Bajingan—!” Darius mendorong senapannya ke rahang Bangkai itu, menahan moncongnya yang terbuka lebar, napas busuk menembus respiratornya.
Dor! Dor! Dor!
Baskara dan Pak Wayan melepaskan tembakan bertubi-tubi ke arah kegelapan, berharap bisa mengenai sesuatu—apa pun yang menarik Ganindra.
Jaras menghabiskan satu magazin penuh, melontarkan selongsong kosong ke udara. Darmaji menembakkan shotgun-nya, tubuh Bangkai terpelanting ke belakang, tapi lebih banyak yang datang menggantikannya.
"Brengsek! Mereka tak habis-habis!" Jaras menggeram, menembak tanpa berpikir.
Dor! Dor! Dor!
Rangga mengarahkan pistolnya ke kepala Bangkai yang hampir menerkam Darius—Klik. Kosong.
"Brengsek!" geramnya, melempar pistol ke kepala Bangkai terdekat sebelum menghunus pisaunya.
Bangkai terus merangsek maju, seperti ombak gelap yang tak bisa dihentikan. Darius menggertakkan gigi. Tak peduli berapa banyak yang mereka tumbangkan, Bangkai seakan tak ada habisnya.
Kemudian, satu per satu senter mereka mulai mati. Jaras yang pertama. Lalu Darmaji. Lalu Rangga. Baskara mengguncangkan senternya, tapi tak ada gunanya. Hanya satu cahaya yang tersisa.
Darius menoleh ke tangannya, cahaya di itu bergetar—seperti keberanian yang tinggal sisa, di tengah kegelapan yang kini terasa lebih pekat.
Geraman terdengar dari segala arah. Mereka semakin terdesak. Rangga menatap ke arah Darius, matanya penuh dengan sesuatu yang tak biasa—ketakutan yang nyata.
Darius mengencangkan genggaman di senapannya, berusaha menahan rasa putus asa yang mulai menjalar.
Lalu…
Mereka berhenti.
Bangkai-bangkai itu berhenti.
Dari balik bayangan, sesuatu yang lain muncul. Gerakannya begitu cepat, begitu halus, seperti bayangan hidup yang mengoyak malam. Dalam sekejap, Bangkai-bangkai itu tercabik.
Geraman mereka berubah menjadi jeritan.
Darius menyorot senternya, tapi makhluk itu bergerak begitu cepat. Hanya ada kilasan—tubuh besar, gerakan beringas, tangan yang merobek daging busuk tanpa ragu.
Satu Bangkai ditarik ke dalam kegelapan. Suara retakan tulang menggema, diikuti semburan darah pekat yang tercecer di tanah.
Yang lain mencoba melawan, tapi percuma. Mereka dirobek, dihancurkan, seperti mainan rapuh di tangan sesuatu yang jauh lebih mematikan.
Lita menahan napas, tubuhnya kaku.
Darius merasakan keringat dingin mengalir di punggungnya.
Yang tadinya bertarung mati-matian, kini hanya berdiri membeku.
Tak ada lagi perlawanan.
Tangan-tangan yang memegang senjata kini melemah. Beberapa melangkah mundur tanpa sadar. Yang lain hanya berdiri terpaku, wajah pucat.
Mereka pikir mereka sedang menghadapi neraka.
Mereka salah.
Neraka baru saja membuka pintunya.
Makhluk itu berhenti membantai.
Berbalik…
Melangkah perlahan dari balik bayangan.
Krek… krek…
Setiap langkahnya diiringi bunyi tulang yang bergeser, seolah persendiannya bergerak tidak semestinya. Napasnya terdengar aneh—serak, berat, seperti seseorang yang sekarat dipaksa bernapas.
Dunia terasa lebih sunyi. Sekeliling mereka gelap total, hanya diterangi cahaya lemah dari senter yang bergetar di tangan Darius.
Dinding-dinding yang tadinya terlihat kini lenyap dalam kegelapan pekat, seakan dunia di sekitar mereka telah menghilang.
Udara membeku. Bau busuk menyengat, bercampur dengan darah hangat dan tanah dingin yang seakan ikut menyerap kengerian malam itu.