Bumi Kelabu

Muhammad Adlin
Chapter #4

BAB 4 : Catatan Pilu dan Duka

Catatan Pilu dan Duka

Bumi kelabu. Angin lirih mengendap, menyeret hawa dingin yang muram. Daun-daun kering berkerisik, terangkat dan lenyap dalam kehampaan.

Darius melangkah—

Sebuah rumah kecil bertingkat dari kayu jati. Usang termakan usia. Penuh debu. Langkah Darius mendarat di sebuah keset lusuh. Pintu di depannya familiar—bunga melati yang diukir sedemikian rupa. Indah. Namun ganjil. Entah kenapa.

Darius menyebut nama seseorang di dalam—bisu, mulutnya seolah dibekap oleh kain tak kasat mata, yang ditangkap telinganya hanya denging. Ia meraih kenop bulat yang kasar dan terbalut debu—seolah tak pernah tersentuh zaman. Saat didorong, ia tahu pintu itu berderit… meski tak terdengar satu bunyi pun.

Aroma debu menyeruak menusuk hidung, mengambang dalam berkas cahaya dari celah jendela. Matanya memindai sekeliling—tak ada orang. Ia menyebut nama itu sekali lagi. Suaranya terasa gaib. Tak ada jawaban. Hanya denging. Ia melangkah ke ruang tamu. Matanya menangkap sebuah bingkai di atas lemari: foto monokrom tiga orang tanpa wajah. Dahinya berkerut.

Darius melangkah ke sebuah tangga. Satu pijakan dan ia sampai di ujungnya. Entah bagaimana. 

Ia menengok ke kiri. Sebuah pintu kamar— terbuka. Isinya berhamburan, sehelai selimut menjuntai. Seseorang sedang menangis di dalam sana. Tanpa suara. Ia hanya tahu. Ia menengok ke kanan. Seorang wanita bergaun putih berdiri membisu di depan jendela, menatap khusyuk ke langit kelabu.

Ia memanggil. Tak ada suara. Tak ada jawaban. Hanya rambut hitam yang melambai—tertiup angin dari jendela yang terbuka. Hawanya dingin, menusuk ke dalam kulitnya. Ia memanggil sekali lagi. Kali ini wanita itu melirik. Hanya sedikit. Menatapnya dari ujung mata.

Darius. Pandangannya nanar. Bingung.

Hembusan angin menerpa. Kulit wajahnya serasa hendak membeku.

Jendela tertutup-buka. Membanting keras. Tapi tak ada suara. Ia hanya tahu.

Napas wanita itu kini memburu. Kedua bahunya naik turun.

Ia memanggil sekali lagi. Wanita itu membalik badan. Menatapnya. Tatapan yang menembus dasar jiwanya. 

Wajah itu… matanya… Ia mengenalnya. Tapi tidak seperti ini. Ada kehampaan dingin di balik sorotnya. 

Mulut itu terbuka perlahan. Giginya tampak. Bukan senyum—melainkan seringai getir yang merambat sampai ke sudut matanya. Seringai yang mengiris.

Wanita itu tiba-tiba menerjang.

Ia menghantam lantai dengan keras.

Wanita itu haus. Kelaparan. Ingin menerkam.

Ia menjauhkan wajahnya, mendorong lehernya sekuat tenaga.

Teriakannya panik. Lagi-lagi, tak ada suara. Hanya denging.

Tatapan itu mengerikan. Beringas. Lapar. 

Lalu… 

Gigitan wanita itu menancap, menusuk ke dalam lehernya.

Rasa nyeri menyengat seketika, panas menjalar dari luka ke otak dan saraf-sarafnya.

Tubuhnya kejang. Matanya melotot. Darah mengucur dari leher dan kedua matanya.

Teriakannya mengaum tanpa suara.

Seakan jiwa sedang meronta—hendak kabur dari tubuhnya…

Darius tersentak. Napasnya memburu—tersangkut di balik respirator. Ia terbatuk-batuk. Telinganya berdenging. Panas gigitan itu masih terasa—meski kini hanya keringat dingin yang membasahi tengkuknya.

Gelap. Tangannya meraba-raba sekitar, mencari senter.

“Kau mengigau.”

Darius terkejut, sontak menoleh ke sumber suara. Lita, yang memecah kesunyian.

Jantungnya bergemuruh. Perasaannya tak karuan. Ia mengatur napas. Kepalanya begitu berat. Pening.

“Berikan senterku,” ucapnya pada gadis yang sedang berdiri, memegang senternya.

Gadis itu melirik. “Apa kau selalu mimpi buruk?”

Hening.

“Kau mengigau sepanjang malam… menyebut nama Ta—”

“Diam!” potong Darius. Suaranya tegas, menggema di dinding gua. “Tak usah bahas,” sambungnya lebih tenang. 

Lita diam sejenak.

Gadis itu tak lagi memakai respirator. Ia mengangkat wajahnya, pandangannya tak terbaca. “Badai sudah reda,” katanya.

Darius meraih ransel yang dijadikan bantal, merogoh sebuah botol air minum, membuka penutupnya—membuka respiratornya, lalu meneguk. Hanya setetes yang keluar. Ia mendesah.

Lita meletakkan senter di mulutnya, lalu mengambil sesuatu dari tas selempang, menawarkannya pada Darius. Botol air minum yang isinya sisa setengah. Darius meraih, meminum seteguk, bernapas lega. Ia mengembalikan botol itu tanpa sepatah kata.

Lita mendengus pelan, meraih botolnya kembali. “Sama-sama,” gumamnya sarkas, menutup botol dengan gerakan berlebihan sebelum dimasukkan kembali ke ransel. Matanya sekilas melirik Darius. Tak ada tanggapan.

“Berikan senterku.” ujar Darius. Lita bergeming.

Ia berdiri. Matanya terpaku pada sesuatu. “Lihat.” Senter di tangannya menari di dinding batu.

Darius menoleh.

Coret-coretan dari kapur memenuhi dinding gua. Bukan hanya satu, tapi hampir seisi gua. Ia berdiri dengan bertumpu pada lututnya. Matanya melihat sekeliling. Tulisan ini tidak ada semalam. Atau mungkin dia yang tak memperhatikan—terlalu terpaku dengan keberadaan Arnol, sampai-sampai tak lagi memperdulikan sekitar. 

“Coba lihat yang ini,” gumam Lita, menunjuk salah satu tulisan di dinding.

Dahi Darius berkerut. Jantungnya serasa berhenti. Dingin menjalar dari tulang ke kulit. Matanya terpaku pada goresan kapur itu, menelusuri lekuk-lekuk huruf yang begitu familiar. Persis seperti yang pernah ia lihat di buku puisi Arnol, yang ia baca di sela-sela patroli. Tidak mungkin. Tapi. Ini—tulisan tangan Arnol.

Aku bukan hidup.

Bukan pula mati.

Terkatung di ambang keduanya. 

Di satu malam, aku adalah mayat.

Mayat yang hidup.

Di malam yang lain. Aku, adalah aku.

Bernapas. Sekarat.

Tangan kanannya tanpa sadar mengepal.

Dari belakang, terdengar gumaman berat dan serak. “Badai sudah reda ya?,” tanya Pak Wayan yang baru bangun.

Darius dan Lita tak menjawab. Pandangan mereka terfokus pada goresan kapur itu. Pak Wayan berdiri, berjalan mendekat. Penasaran.

Ada kala rasa sakit itu lenyap. Seakan aku sembuh.

Kesembuhan yang kubayar mahal.

Dengan tak punya kendali atasku.

Atas apa yang kugenggam. Atas kemana kakiku melangkah.

Dan apa yang kumakan.

Hanya mata.

saksi bisu.

Cahaya redup menyorot satu per satu tulisan itu.

Hari ini, aku tersangka Atas korban tak bersalah.

Seorang penyintas malang.

Apa aku menanggung dosa kakek buyutku?

Ia makan malam mewah bersama koleganya, kala rakyat kecil kelaparan.

Ia menyaksikan orang-orang miskin sengsara. Kala ia hidup bergelimpang.

Ia sembunyi di balik kastil mewah, kala mereka bertarung dengan wabah.

Dengan yang hidup dan yang mati.

Apa aku menanggung dosa mereka?

Tulisan itu perlahan berubah, dari goresan yang rapi dan indah menjadi semakin berantakan. Seolah virus itu perlahan merenggut kemampuan menulisnya.

Vaksin itu, seharusnya jadi juru selamatku.

Alih-alih jadi awal penderitaanku.

Apa opa juga begitu? Apa mama-papa juga begitu?

Apa kami semua berdosa?

Tak terbesit suatu hari aku akan iri pada bangkai.

Setidaknya mereka bangkai seutuhnya.

Sementara aku—entah aku ini apa.

Lihat selengkapnya