16 September 2018.
DUAR! Gemuruh petir di langit menyertai hujan deras yang sudah turun sedari tadi. Air melimpah dari atas sana mengguyur tanah kering hingga tak tersisa. Menyisakan aroma khas bau tanah basah kala hujan dengan seribu tanya dari butiran air yang tersangkut di atas pepohonan, Akankah aku jatuh ke bawah sana? tanyanya.
Jalanan di ibu kota, Jakarta, tak sedikit pun lengang. Macet pun tak bisa terhindarkan.
“Hampir tengah malam,” ujar seseorang berperawakan tinggi besar seraya melirik arloji di tangan kirinya. Segera ia benahi kacamata hitam yang melorot dari hidung mancungnya. Ia tengah menyopir mobil minimalis berwarna hitam pekat, menjadi satu dari ratusan orang yang tengah berjajar menunggu lampu merah berubah menjadi hijau. Bergerombol bak pasukan semut acuh tak acuh.
Lampu hijau. Mobil dengan kode plat nomor B, Jakarta, melaju tangkas. Tak sedikit pun ia membiarkan celah untuk diambil oleh kendaraan lain.
“Ehem …” ia berdeham, bentuk apresiasi singkat karena sudah terlepas dari rentetan kendaraan yang terjebak padatnya jalanan.
Mobil itu melaju, seiring menambah kecepatannya mencapai delapan puluh kilometer per jam. “Aku tidak ingin terlalu larut, apakah masih ada orang di sana?” gumamnya pelan.
Lelaki tinggi besar itu berhasil membawa mobilnya ke depan pintu gerbang tempat tujuan, Perusahaan Surat Kabar Gemintang. Berputar melejit dengan sempurna di ubin parkiran.
Hujan masih tak memberi ampunan bagi masyarakat Jakarta. Lelaki itu meraih payung hitam di kursi belakang. Membuka pintu perlahan, lalu tangkas memencet tombol kecil pada payung dan mendorongnya mekar ke atas. Ia keluar dari mobil, percikan air yang memantul lewat atas payung sesekali membasahi tuksedo hitamnya.
Kantor rupanya sudah sepi, hanya segilintir pekerja ambisius saja yang bertahan merancang konsep berita hingga tengah malam, sudah gila mungkin. Bahkan dunia tak akan mengapresiasi mereka lebih meski begadang sembari menunggu hujan reda di kantor, jauh lebih nikmat bersantai di dekat perapian yang mengepul ditemani secangkir coklat panas.
“Permisi, Pak. Ada keperluan apa kemari selarut ini?” cegat seorang satpam yang berjarak kurang lebih lima meter di belakang lelaki bertuksedo itu. Satpam setengah sadar itu berjaga di pos depan, tak lupa menyambut lelaki yang datang di tengah malam.
Langkahnya terhenti, ia menyingkupkan kembali payung yang dipegang sebab sudah terlindung oleh atap bagian teras. Ia menyibakkan tuksedonya ke belakang, menoleh ke arah satpam, “Saya mau ke dalam. Ada barang penting tertinggal di loker mejaku,” ujarnya dengan nada dingin.
“Sebelumnya, bolehkah saya melihat kartu tanda pegawai Bapak?” tanya satpam itu tegas, rupanya nyawanya sudah terkumpul lengkap.
Lelaki itu tersenyum sinis, melepas kacamata hitam yang menutup kedua matanya. Satpam itu tersentak melihat lelaki di balik kacamata itu, “Astaga, silakan masuk, Pak! Maaf aku mempersulitmu,” seru satpam berkumis tipis tersebut, suaranya parau, ia sedikit kikuk rupanya.
Leher lelaki bertuksedo itu membuat anggukan sekali. Ia melangkah masuk, warna hitam tuksedonya perlahan menyatu, ditelan oleh lorong masuk gedung perusahaan yang sudah dimatikan pencahayaannya oleh petugas keamanan. Suara kedua sepatu pantofel yang ia kenakan silih berganti berbunyi, menggema membentuk rangkaian nada hingga terdengar dari luar gedung perusahaan.
Sejurus kemudian, ia telah masuk ke dalam lobi perusahaan. Lelaki itu berhenti sejenak, memencet saklar lampu. Cahaya rembulan di atas sana yang menembus ribuan jendela perusahaan pun belum cukup berhasil menjadi pencahayaan utama.