Bumi Para Pembelit

Noor Cholis Hakim
Chapter #4

Arwana dari Bilik Bambu

September 2018

“Perlengkapan dokumentasi, udah. Setelan jas, udah. Blus warna hitam sama putih, udah. Sepatu? Bentar aku ambil sepatu dulu,” Laras seolah bermonolog. Sedari tadi pagi ia sibuk mempersiapkan barang-barang yang akan dibawanya ke Inggris.

“SIAPA KURATOR TERBAIK DI INGGRIS TAHUN INI? LARASATI SUBARDIMAS!” teriak Laras lantang, menyuarakan namanya. Ia terlalu bersemangat untuk pergi, sekaligus menjadi pereda suntuk hidup di tengah hiruk pikuk keramaian ibu kota, Jakarta.

Laras berjongkok, merogoh rak sepatunya yang berantakan. Pandangannya terjurus ke salah satu titik, tempat sebuah buku kesasar, tergeletak di antara tumpukan sepatunya.

“Astaga, buku Ibuk. Penulis Cempaka, bisa marah kalau tahu ini,” celetuk Laras.

Ia mengambil buku dengan sampul dominasi hijau itu. Mengurungkan niat sejenak untuk segera menuntaskan persiapan barang-barang yang akan ia bawa. Mulanya berjongkok, kini ia merebahkan kakinya ke depan, berselonjor sembar bersandar di tembok terdekat dari rak sepatu.

“Ibuk, sering mendongengiku cerita ini ketika masih kecil. Aku masih ingat, tepat pada tahun dua ribu tiga, di malam Maret hari ke tiga, cetakan pertama dari buku ini terbit, lalu dihadiahkan spesial oleh Ibuk untuk ketiga anaknya. Hari-hari dimana aku akan menginjak usia sepuluh tahun pada bulan itu juga. Sejak itu, Ibuk nggak pernah absen bacain cerita ini sebagai pengantar tidur padaku dan Nawang, sedangkan Anjasmara nggak mau dengar, katanya cerita pengantar tidur hanya untuk anak manja. Tapi bagiku, karya kedua dari Ibuku, Penulis Cempaka ini paling melekat di hati,” ujar Laras, bernostalgia singkat.

Diusapnya bagian cover yang sedikit lusuh karena tertimpa sepatu-sepatu Laras yang jarang ia pakai. Sampul berilustrasikan seekor ikan yang terperangkap di balik tatanan bambu terjajar rapi, memiliki judul Arwana dari Bilik Bambu.

***

Maret 2005

“Kak Laras, Kak Laras, lihat yang Nawang bawa!” teriak Nawang seraya berlari terbirit-birit di rumah besar Dimas untuk menuju Kakaknya kala itu. Gadis itu masih sangat mungil, baru menginjak usia tiga tahun di pertengahan Januari lalu.

Laras terbelalak, melihat adik kecilnya yang sudah mampu berlari gesit. Anjani berjalan mengekor di belakang bocah kecil itu.

“Awas jatuh, Wang,” ia berjongkok, menangkap sang adik dengan kedua tangannya. “Apa yang kamu bawa, Wang?” tanya Laras.

“Buku terbitan kedua Ibuk, Kak, Penulis Cempaka,” ujarnya riang.

Mata Laras berbinar-binar, padahal baru menatap sampul bukunya saja ia sudah takjub dibuatnya. “Apakah ini hadiah yang Laras dapat, Buk? Padahal, kan, ulang tahun Laras masih beberapa minggu lagi,” ujar Laras. Anjani tersenyum nyengir.

“Ibuk, bacain ke kita dong!” Laras memohon pada sang Ibu yang baru datang bersama Nawang.

“Oke oke,” ujar Anjani. “Tapi, Ibuk minta kalian ganti baju dulu, cuci tangan, cuci kaki, lalu beranjak ke tempat tidur dulu, gih! Ibuk juga mau bersih diri dulu, jadi tunggu Ibuk di kamar, ya!” pintahnya.

Laras dan adik kecilnya itu membuat gerakan hormat pada sang Ibu, Anjani, “Siap, Komandan!”

Anjasmara ternyata datang bersama Nawang dan Anjani, ia berada di paling belakang. Ya, mereka bertiga baru pergi mengantarkan Anjani pergi ke penerbitan yang menaunginya semenjak merintis karya pertama.

“Mas Anjas, mau Ibuk bacain cerita juga, kah?” tanya Anjani pada bocah lelaki dengan sayatan kecil di bawah matanya yang ia dapat beberapa hari lalu selepas berkelahi dengan temannya di Sekolah Dasar karena merisak sang Kakak, Laras. Beberapa minggu lalu, mereka berdua sempat satu SD, sebelum Anjasmara dipindahkan karena kerap membuat kegaduhan di sekolah tersebut pada tahun pertama masuk. Dicap sebagai bocah bandel oleh guru-guru setempat, hingga Ayah memutuskan untuk memindahkannya saja.

Lihat selengkapnya