September 2018.
Keesokan harinya di Rumah Dimas.
“Selamat pagi, dunia!” teriak Laras seraya menghempas selimut yang membalut separuh badannya, lalu beranjak dari tempat tidurnya. Melakukan beberapa gerakan peregangan otot, semenit sebelum ia melangkah ke arah kamar mandi. Diraihnya handuk merah yang tergantung di sudut ruang kamar.
Sejurus kemudian, seorang wanita dengan pakaian rapi keluar dari kamar mandi. Rambutnya masih basah terguyur ketika keramas. Wanita itu Laras. Ia melirik ke arah jam dinding yang tergantung di atas meja riasnya.
Masih ada empat jam sebelum keberangkatan, mungkin aku bisa membeli camilan dulu sebelum berangkat, ujarnya.
Rumah mereka sepi hari itu, hanya ada Laras, Nawang, dan beberapa pembantu yang jumlahnya kurang dari biasanya. Dimas sudah berangkat bekerja tadi pagi, seiring dengan keberangkatan Anjani ke Aula Sastra untuk mengisi acara bedah buku oleh Penulis Cempaka di sana. Pun dengan Anjasmara, ia belum pulang sedari tadi malam, bak hewan nokturnal terjebak yang sudah melewati jam malam hingga tak bisa menemukan jalan pulang kembali.
Laras beranjak ke kamar si bontot, Nawang. Mencangklong tas pinggang bermerek di bagian kiri badannya.
“Wang,” ujarnya. Laras menyelidik, menjulurkan kepala ke sela-sela pintu Nawang yang terbuka tiga puluh derajat.
Gadis yang tengah berbaring tengkurap di dalam kamar itu seketika menoleh, mencari sumber suara yang tak asing di indranya.
“Ada apa, Kak Laras?” sambutnya seraya melepas earphone yang digantung di kedua telinganya.
Laras menatap semburat keceriaan yang terpampang dalam air muka Nawang. “Hayo, Nawang, ada kabar baik apa hari ini?” goda Laras.
Nawang membenahi posisinya, duduk dengan tegak di atas ranjang. “Nanti aja Nawang beri tahu. Kak Laras, mau ke mana? Bukannya, Kakak dapat jadwal pemberangkatan jam empat siang, ya? Sekarang masih jam dua belas nggak, sih?” Nawang mengganti topik pembicaraan. Kedua matanya kelayapan, menatap Laras mulai dari ujung celana jeans yang ia kenakan hingga kalung liontin yang terikat di leher.
“Oh iya, Kakak masih berangkat nanti. Tapi, mau pergi jalan-jalan dulu, itung-itung ini akan menjadi hari terakhir Kakak di ibu kota selama setahun ke depan. Kamu mau ikut, Wang?” Laras melontarkan senyuman.
Gadis yang terduduk di atas ranjang itu menyambutnya dengan gelengan kepala berulang, “Nggak, Kak. Masker Nawang belum dicuci, lagian Nawang juga mau beli kacamata baru dulu. Kan nggak lucu kalau ada paparazi yang nanti nulis artikel, ‘Nawang, salah satu influencer di instagram yang tidak bermodal sama sekali.’ Hehehe … Tahun depan, selepas Kakak pulang, Nawang janji akan ngajak jalan-jalan,” gadis itu berceloteh panjang.
Laras terdiam dengan satu ujung bibir menyungging ke atas, “Halah, nggak bermodal nggak masalah, yang penting masih bermoral.” Pintu di tutup oleh Laras, seiring dengan teriakannya pada gadis di dalam sana, “Kakak berangkat, Wang!”
***
Kafe Markofi.
Suasana hening sesaat, selepas Laras berceloteh panjang pada seorang gadis di kursi depannya.
Gadis di hadapan Laras memonyong bulatkan bibirnya, “Oh, jadi gitu toh ceritanya?”
Sayup-sayup terdengar hingar bingar para pelanggan kafe bercengkrama. Kafe Markofi, satu-satunya destinasi tujuan Laras ketika suasana hatinya gundah, sedih, maupun gembira. Dituangkannya kepada sang barista kafe ini, bersama dengan aroma kopi yang membara masuk ke lubang hidungnya.
Tiap kali Laras ke sini, sang barista menyambutnya hangat. Kini, barista itu tengah duduk di depannya, mendengar celotehan panjang dari sahabat baiknya. Namanya, Aliza. Bagi Laras, tempat ini bagaikan pundak agar kisahnya tak ia rasakan sendiri, berat jika kupikul sendiri, katanya tiap ke mari. Tapi berbeda dengan Aliza, bagi gadis yang belum sempat menamatkan kuliahnya karena sang Ayah wafat, tempat ini menjadi salah satu sumber penghidupan untuk dirinya dan sang adik yang baru lulus SMA.
Laras mengangguk, menyangga kepalanya dengan tangan kanan di atas meja, padahal ia tidak sedang memikul masalah hidup berat. “Iya, habis ini aku berangkat ke sana. Tiga setengah jam lagi mungkin. Aku takut, mereka milih aku cuma gara-gara pengaruh Ayahku di pemberitaan. Astaga, apakah jantungku berdebar terlalu cepat? Aliza, katakan, apakah aku berkeringat?” ujar Laras dengan ekspresi panik.
Aliza menggeleng, tangannya mendekat ke dada Laras, merasakan detak jantung perempuan di hadapannya yang tengah menyeruput kopi hitam, selera yang unik untuk sekelas anak gadis. “Tenang, Ras. Mereka milih kamu karena kamu kompetitif, bukan pengaruh perusahaan Ayahmu. Lagi pula, apa salahnya jika mereka juga memandang perusahaan Ayahmu? Bersyukurlah kamu, Ras, selain punya kelebihan dalam dirimu, kamu juga punya kelebihan dari segi materi. Kedua orang tuamu sudah mempermudah hidupmu.”
Laras memainkan genangan kopi hitam yang menetes sedikit ke meja nya, keluar dari cangkir dan lepek. “Baiklah, tapi aku cuma ingin diakui karena pencapaianku, bukan karena bantuan popularitas keluargaku, Liz.” Kedua matanya melirik ke bawah, tertunduk.
“Ras, terlahir dalam keluarga kaya itu suatu bonus, tinggal kau memanfaatkannya bagaimana. Dunia keras, Ras, mereka yang kini berkedok sebagai penyemangat bisa membelot di kala kau tak punya uang. Modal bisa mengalahkan moral, Ras,” ucap Aliza dengan memberi sedikit penekanan di kalimat terakhir.
Laras tertegun, teringat tentang apa yang dikatakannya pada Nawang. Kini diputarbalikkan oleh sahabatnya, Aliza. “Benarkah?”
“Bukannya aku nakut-nakutin kamu lo, Ras. Aku cuma mau ngebuat kamu lebih bersyukur. Tapi, kuyakin mereka nggak akan memandang kamu sebelah mata. Di mana pun kamu berada, aku percaya kalau kamu akan menjadi orang baik. Cuma setahun, Ras. Setahun. Nggak usah rindu sama kopi hitam ini. Pun ini bukan kali pertama kamu ke Inggris, bukan? Jejak pijakan kakimu itu sudah luas, Ras. Kamu sudah banyak pengalaman. Masa iya, lulusan Oxford takut sama dunia pekerjaan seperti ini?” Kini giliran Aliza yang berceloteh panjang.
Laras bergedek, “Baik. Aku nggak akan takut, tenangkan dirimu, Laras!” ujarnya pada dirinya sendiri.
Suasana tak pernah hening, meski keduanya tak saling menimpali untuk beberapa saat, riuh pengunjung masih terhantar merangsang gendang telinga. “Oh iya, bicara soal Oxford. Gimana kabar, Nawang? Baik-baik aja, kan? Sampaikan terima kasihku, ya. Nawang akan menjadi dewi penyelamat bagi adikku, Nares. Setidaknya bebanku dalam membesarkan seorang adik sendirian menjadi lebih ringan dari sebelumnya.”
“Nawang berbuat apa emangnya?” tanya Laras. Ponsel di sakunya berbunyi satu ketukan, tanda ada pesan yang masuk.
Laras membukanya, tak menghiraukan lagi celotehan gadis di hadapannya. “APA?” sontak ia terkejut, persis beberapa detik setelah terpaku ke dalam benda layar sentuh segi empat di tangannya.
“Ada apa, Ras?” tanya Aliza.