Bumi Para Pembelit

Noor Cholis Hakim
Chapter #8

Seperti Margarin Panas

“Bak margarin yang bisa meleleh suatu waktu. Manusia juga bisa runtuh suatu masa. Karena setiap manusia ada jam terbangnya. Pun setiap jam terbang ada pemiliknya.”

***

September 2018.

Rumah Dimas.

Seorang gadis tengah duduk termangu di depan laptop, menanti sebuah masa yang tepat di mana namanya akan tertera seiring dengan tulisan yang ia nanti, ‘Lolos.’

Bismillah, lolos nggak, ya?” Nawang menggosok-gosokkan kedua telapak tangan berhimpit. Keringat dingin mendominasi telapak tangan dan kakinya.

Semenit kemudian, notifikasi muncul di ponsel Nawang. Ia memberanikan diri untuk membukanya. Wajahnya datar, sesaat sebelum benar-benar membaca keseluruhan isi pesan tersebut.

“Selamat! Anda, Nawang Wulan Subardimas, dinyatakan lolos sebagai Mahasiswa di Universitas Oxford. Mohon untuk segera melunasi biaya daftar ulang agar resmi menjadi Mahasiswa di kampus kami,” begitu kiranya isi pesan yang Nawang dapat beberapa menit lalu.

Gadis itu melompat kegirangan di atas kasur. Usianya yang belia mengantarkannya menjadi salah satu mahasiswa muda yang berhasil masuk ke kampus favorit di antara ribuan pesaing lainnya.

“Apakah aku tidak bermimpi?” Nawang membaca sekali lagi pesan yang ia terima. Tak luput satu karakter pun yang tertangkap oleh kedua bola matanya itu.

Nawang masih tersenyum girang, “WOW! Update ke status dulu, ah, supaya bisa ngasih inspirasi ke teman-teman semua.” Gadis itu mengambil tangkapan layar hasil pengumumannya dengan menyensor beberapa bagian rahasia yang termasuk privasi.

“Syukurlah, Nawang bisa lolos ke kampus impian. Ini semua berkat dukungan dan doa dari kalian semua. Terima kasih, ya. Terkhusus domisili Indonesia, bagi yang belum lolos, jangan patah semangat, ya. Skenario Tuhan memang paling indah. Semangat pejuang PTN!” tulisnya sebagai caption pengantar dalam unggahan status tersebut.

Belum lewat semenit Nawang meninggalkan ponsel di atas kasur untuk pergi mencetak hasil pengumuman tersebut, ratusan balasan dari warganet sudah memenuhi layar atas ponsel.

Nawang tercengang membaca komentar dari para pengikutnya. Biasanya yang memberi support, tapi mengapa berbalik me-report.

“Sombong amat, sih, Neng!” tukas salah satu warganet lewat fitur direct message.

Belum puas, Nawang lanjut membaca komentar-komentar warganet lainnya.

“Namanya kayak bidadari, tapi kelakuannya selalu bikin iri hati.”

“Pamer bilang, Bos!”

“Oxford? Mau bayar pake apa lu kesana? Bokap lu kan otw bangkrut, ups!” celetuk pemilik akun instagram @jo*da*19**

Nawang mengerutkan dahi, Bangkrut? Seharian ini ia belum sempat menyalakan televisi, hanya berdiam diri di depan laptop yang ia lakukan. Pemberitaan di media-media pun bukan jalan keluar yang tepat baginya jika punya waktu luang.

Baru kali ini Nawang mendapat komentar pedas dari warganet. Pun ia memberanikan diri membalas celotehan akun @jo*da*19** lewat direct message-nya.

“Maaf, maksud Anda bangkrut apa, ya?” tulis Nawang.

“Hah? Lu beneran nggak tahu apa pura-pura nggak tahu, hah? Bokap lu itu lagi kena kasus. Daripada nyombongin diri lu, coba buka berita deh!” balas orang di ujung sana.

Ayah kena kasus? gumamnya.

“Makanya, kalau lu mau nebarin ilmu nggak usah sekalian nyombongin diri, Mbak! Gini, nih, yang kena dampak orang tua lu! Durhaka banget, sih, jadi anak,” seru pemilik akun yang sama.

Nawang mulai geram, lalu membalas pesan tersebut sebelum memblokirnya, “Nyinyir banget sih, Mbak, jadi orang. Bye!”

Gadis itu menutup aplikasi instagram, membiarkan banyak pesan permintaan dari pengikutnya belum terbaca. Bergegas menuju ke internet, lalu mengetik kata kunci, ‘Ada apa dengan Perusahaan Surat Kabar Cakrawala?’

Ia menyelidik, memutar bolanya ke atas dan bawah. Membaca beberapa clickbait yang mengundang daya tarik.

Manipulasi Keuangan Perusahaan Surat Kabar Cakrawala

Ditulis oleh: Aris Dewandaru

Lihat selengkapnya