Bumi Para Pembelit

Noor Cholis Hakim
Chapter #10

Buku Harian Laras

Oktober 2018.

“Aku, Laras. Udah lama, ya, nggak bersua? Maaf kubiarkan dirimu melapuk di barisan paling atas rak buku.

Waktu terus berjalan, tapi aku masih di sini menjadi seorang pengangguran. Nggak kerasa, udah satu bulan aja sejak tragedi Ayah bangkrut dan kasus plagiasi Ibuk. Tapi, ini bukan salah sang waktu, sebab ada yang jauh lebih kejam darinya, yakni manusia, kita sendiri. Kadang untuk menjadi pemenang, mengalahkan orang lain menjadi keharusan. Namun, beberapa lupa bahkan kelewatan, bahwa tujuan awalnya adalah mengalahkan, bukan menghancurkan.

Sebulan berlalu, begini lah kehidupan kami. Ayah benar-benar bangkrut hingga harus menjual rumah yang kami punya. Ternyata, itu bukan rumah satu-satunya yang kami punya. Ayah pernah diwarisi Kakek sebuah rumah satu lantai sederhana yang cukup menampung hingga enam orang, kata Ayah.

Di rumah ini, kita masih punya tekad untuk berjuang. Bangkrut bukan akhir bagi kami, tapi sebuah tantangan menurut persepsiku.” Laras beranjak, menutup buku catatan hariannya. Dibawanya buku itu di tangan kanan.

“Laras!” seru Ibuk yang sudah menyuruhnya mengemas pakaian di tas untuk dibawa pindah.

Perempuan itu segera berlari, lalu menarik koper merah marun miliknya. Kemudian bergegas menuju halaman depan rumah. Mobil hitam yang muat menampung delapan orang terparkit di depan halaman mereka. Satu-satunya aset keluarga yang mereka punya sekarang. Dimas tak berkehendak menjualnya, meski bisa sangat membantu untuk melunasi hutangnya.

“Barang Mas Anjas udah kamu kemas juga, Wang?” tanya Anjani pada gadis bermasker hitam yang mengekor dengan menggiring dua koper di belakang Laras.

Gadis itu mengangguk, kacamatanya melorot sedikit.

Anjani membantu kedua anaknya memasukkan koper-koper mereka ke dalam bagasi. Kemudian mengambil posisi di dekat kursi sopir yang sudah diisi Dimas sedari tadi.

“Baik. Kita akan kembali ke sana, Yah. Semoga tidak seburuk yang lalu,” bisik Anjani seraya menutup pintu mobil.

Dimas mengangguk seiring dengan mobil mulai berjalan.

***

Maret 2019

Rumah di kampung.

Laras memandang nanar dirinya yang baru beberapa detik terduduk, bangun dari tidur, lewat pantulan di cermin depannya.

“Pagi … dunia!” Entah itu bisa disebut seruan atau sebaliknya, gadis itu mengatakan dengan suara lirih. Kantong matanya pekat, rambutnya amburadul.

Beberapa detik selepas nyawanya terkumpul seutuhnya, gadis itu menendang-nendang selimut yang membalut sebagian tubuhnya. “Astaga. Untuk apa aku bangung pagi? Aku masih saja pengangguran. Cih!” dengusnya.

Mata gadis itu berkeliaran, mencari kalender yang tergantung di dekat lemari lapuk. Dipandangnya dari kejauhan, Tanggal enam belas Maret. Hari ulang tahunku. Aku sudah semakin tua, gumamnya.

Suasana sepi. Bukan karena orang rumah tengah bersembunyi untuk membuat kejutan bagi gadis itu. Tapi waktunya saja yang kurang tepat. Dimas dan Anjani masih mengambil jeda sebentar di ruang tamu, menarik napas untuk kemudian bertikai panjang.

“ … uang bulanan udah habis lagi, Buk?” samar-samar terdengar suara Dimas masuk ke sela-sela kamar Laras.

Laras mengusap matanya, mendengar dari atas kasur. “Hm … mulai lagi,” kemam Laras.

Lihat selengkapnya