April 1986
Kontrakan kecil Dimas dan Anjani.
Ketika hujan telah menyembunyikan tetesan sedunya. Berganti musim kemarau. Kala sang mentari menunjukkan sinar anti padamnya. Dimas dan Anjani tengah merenungi nasib anak tersebut. Uang tabungan mereka sudah habis untuk biaya sewa dan deposit kontrakan.
“Kita harus ke sana, dik!” tegas Dimas seraya memaksa sang Istri yang sudah memasuki masa rawan kandungan.
Anjani bergedek seraya tersedu dalam tangis, “Tidak, Mas. Apakah kau tidak bisa lebih bijaksana? Kau adalah ayah dari anak ini! Tega kah kau dengan anak ini? Denganku pula?”
Dimas meringkuk, menyeka air matanya dengan siku tangan, “Aku hanya tidak mau menjadi Ayah yang gagal. Aku takut tidak bisa mencukupi kebutuhan anak ini, Anjani! Kedua orang tua kita benar. Kita belum siap menempa diri di dunia keji ini!”
“Kau terlalu mengedepankan ego, Mas. Sudah kubilang kita pergi ke ibu kota, ke rumah warisan Ayahmu!” seru Anjani.
Dimas bergedek, “Tetap saja. Kita akan mati kelaparan di sana. Gajiku yang kecil tidak akan bisa mencukupi kebutuhan mahal di ibu kota.”
“KITA HARUS PERGI KE SANA!” tegas Dimas.
Anjani tertegun, “Mas …”
***
Praktik Aborsi Nirmala.