Bumi Para Pembelit

Noor Cholis Hakim
Chapter #12

Cinder(Laras)ella

 “Kami menerimamu, hendaknya Anda juga menerima takdirmu. Bekerjalah dengan rendah hati. Anda masuk di tim redaksi. Saudari bisa mulai bekerja lusa, semangat!” ketik salah seorang dari Perusahaan Surat Kabar Gemintang selepas Laras mengirim lampiran di e-mail berisi surat lamaran.

***

Maret 2019.

Laras berlari terengah-engah. Tas selempangannya sudah kesekiannya melorot dari pundak gadis itu. “Astaga. Bagaimana mungkin aku terlambat di hari pertama kerja?” ujarnya seraya melihat arloji miliknya yang tersisa, berputar seolah tak memberikan jeda sama sekali pada Laras untuk bernapas.

Pantas saja jika Laras terlambat, perjalanan dari kampung ia tinggal sudah memakan lima jam perjalanan untuk menuju kota. Belum lagi transit halte bus lain. Namun, bagaimanapun Laras tetap salah, sebab ia buta waktu, terlarut dalam tidur semalamannya. Lupa memperhitungkan waktu tempuh perjalanan, maklum sudah hampir enam bulan ia tak ke kota.

“AH! Terlambat dua puluh menit, hari ini aku sudah memiliki jadwal rapat yang harus kuhadiri,” teriaknya.

Sejurus kemudian wanita berpakaian blous dengan rok sepanjang lutut itu melangkah masuk ke dalam perusahaan. Persis setelah menyeka keringat yang berkucuran. Ia menyemprotkan parfum seiring melangkah ke ruang rapat di lantai dua.

Di depan pintu rapat sudah terdengar samar-samar kalau acara itu sudah dimulai sedari tadi. Laras menarik napas, bersiap kemungkinan apa pun yang terjadi. Pintu yang ia tarik tuasnya segera terbuka, ratusan staff dari berbagai divisi sudah duduk, mengisi kursi-kursi kosong di ruang rapat.

Laras berjalan sempoyongan, menundukkan badan kepada orang-orang yang menatapnya gusar. Ia melihat sebuah papan penanda bertuliskan ‘Tim Redaksi.’ Segera diisinya kursi kosong di sebelah pria dengan kemeja hitam, badannya gagah. Laras sempat terpukau pada pandangan pertama. Tapi pria itu nampak dingin.

Laras mengalihkan pandangannya dari pria yang duduk saja sudah terlihat jelas melampaui tinggi badan Laras, apalagi saat berdiri, bisa malah jadi kurcaci nanti. Ia dengan cekatan mengeluarkan buku catatan dan pulpen bertinta hitam ke meja depannya.

“Baiklah, bisa kami tarik kesimpulan dari pertemuan singkat hari ini …” ujar seorang pria berjas di atas panggung yang memimpin rapat dalam ruangan besar ini. Laras terhentak, seketika ia tergagap, “Ke … kesimpulan?” Baru saja ia membuka sampul buku catatan itu, tetapi sudah disambut dengan penarikan kesimpulan.

Pria kemeja hitam di samping itu harusnya mendengar perkataan Laras, tetapi ia masih diam.

“... untuk peliputan berita musim ini kami menugaskan tim-tim yang ada di perusahaan agar lebih tangkas, sebab perusahaan kita sudah menjadi nomor satu dalam dunia pers. Maka hendaknya kita meliput berita paling pertama, sebelum diliput oleh perusahaan pers manapun. Saya minta kerja sama dari kalian semua untuk bekerja lebih keras sesuai divisi masing-masing. Terkhusus tim redaksi, saya akan lebih memantau kerja kalian. Selepas ini, saya akan meminta topik konsep berita yang bisa diangkat. Mohon dipikirkan, sekaligus menjadi penilaian layak tidaknya kalian bertahan di tim yang memegang ujung tombak perusahaan kita,” celoteh pria berjas itu. Laras tertegun, “Itu terlalu panjang untuk disebut sebagai kesimpulan,” gumam gadis yang banyak omong itu dengan menyangga berat kepalanya di tangan.

“Tetap semangat! Ingat selalu slogan perusahaan kita, ‘Bekerjalah penuh semangat, seolah akan di-PHK esok hari.’ Saya Aris Dewandaru selaku Wakil Direktur pamit,” lanjut pria di atas panggung itu. Benar, dia Aris yang sama dengan lelaki tukang lembur di enam bulan lalu.

Laras masih ternganga, “Pantaskah itu menjadi slogan, hah? Jika aku tahu di-PHK besok, aku tidak akan bekerja keras hari ini.”

Pria berkemeja hitam itu mendekatkan kepala pada Laras, “Bodoh. Maksudnya, kau harus bekerja lebih keras agar tetap bertahan. Berlatihlah memahami hal tersirat!” sahutnya datar, mengejutkan gadis itu.

Pria dingin itu berjalan menjauh dari Laras yang masih membatu di tempat dengan bola matanya berputar mengikuti arah pergi si pria. Menatap dengan bekas tanya.

***

Jam istirahat di kantin kantor.

Laras duduk sendirian menyantap roti lapis di salah satu tangan, sedangkan tangan satunya memegang pulpen hitam untuk menyusun tugas divisi dari Wakil Direktur tadi. Matanya berkeliaran, menatap lelaki berkemeja hitam dengan nampan di tangannya yang baru saja memborong makanan dari petugas kantin.

“Halo, anak baru!” sapa seorang wanita dari arah yang berlawanan dengan pria kemeja hitam itu. Ia tidak datang sendirian, dua orang wanita dengan tinggi sama berada di kedua sisinya. Dua di antaranya bersedekap, sedang sisanya di pinggir kanan yang sudah nampak memasuki usia tiga puluh-an berkacak pinggang.

Astaga, gumam Laras, sekaligus menjadi kesan pertama melihat ketiga wanita itu.

Laras mengangguk. Ketiga wanita itu mengisi kursi kosong di mejanya, pas untuk berempat.

“Kenalin, aku Siska. Nama kamu siapa?” wanita yang menyapanya, kini mengulurkan tangan. Rambut yang dimilikinya indah, terkuncir rapi di belakang.

Laras menyambut uluran tangan itu, “Aku, Laras. Halo, nona berdua, namanya siapa, ya?” gadis itu menyapa balik kedua wanita yang datang bersama Siska.

Lihat selengkapnya