Maret, 2019.
Hari pertama kerja Laras sudah tuntas, tetapi gadis itu masih harus melakukan perjalanan melelahkan untuk kembali ke kampung. Ia belum mendapat tempat sewa di kota.
Gadis itu memutuskan menunggu di loteng perusahaan, melepas rindu dengan langit malam juga hiruk pikuk ibu kota.
Wanita itu melipat kedua tangannya di dinding pembatas sisi-sisi loteng, berdiam sejenak selepas mendapat hari kacau dengan teman-teman kerja yang tak sebaik dugaannya.
Banyak para senior yang katanya tak menyukai kehadiran Laras di tempat ini. Gadis itu mendengarnya dari ketiga rekan yang ia kira baik, Siska dan kedua temannya.
***
Beberapa menit selepas rapat usai.
Di ujung lorong sepi, hanya ada tiga wanita yang bersuka ria di sana. Laras melihat mereka bertiga menghirup aroma kopi dengan sorai gembira, seolah berhasil memenangkan sebuah kompetisi. Mereka adalah Siska dan kedua rekannya.
Laras menghentikan langkahnya di persimpangan menuju lorong itu, persis beberapa meter dari tempat Siska dan teman-temannya berdiri.
“Astaga. Aku harus bicara dengan mereka,” gumam Laras dengan tumpukan kertas yang harusnya segera ia fotokopi kala itu.
Sejurus kemudian Laras sudah berdiri lebih dekat di belakang ketiga wanita yang menatap jendela pada ujung lorong itu. “Siska,” sapa Laras, ia sudah mengumpulkan keberanian dan niat untuk menggertak gadis itu sedari berjalan kemari tadi.
Sontak Siska dan ketiga temannya menoleh.
“Oh, Laras. Ada apa?” tanya Siska.
Laras mendesis, “Cih, kenapa berlagak tak tahu,” gumamnya. Namun suara pelan itu berhasil terdengar oleh ketiga wanita itu.
“Hei, apa maksud lo, hah?” Anik melotot pada Laras. Siska menahan gadis paruh baya di sampingnya yang hendak melontarkan pukulan ke Laras.
Siska maju satu langkah, mendekat pada Laras, “Kau mau membahas soal ide tadi itu, Ras? Seharusnya kau berterima kasih padaku,” ujar Siska.
Laras menekuk dahinya, “Maksudmu?”
Siska berjalan memutari Laras dengan tangan bersedekap, “Ya, apakah aku perlu memberi tahumu? Para senior di tempat ini tidak ada yang menyukaimu. Bersyukurlah kami bertiga tidak seperti itu. Justru aku menyelamatkan kedudukanmu, Ras.”
Gadis dengan blus itu menatap Siska, membut langkah memutar gadis itu berhenti.
“Aku, Siska, menyelamatkanmu dari para senior itu, Ras. Bayangkan saja jika konsep semahal itu terlontar dari mulutmu, seorang anak baru dengan puluhan senior yang membencinya, berhasil menjadi staff kesayangan Wakil Direktur. Seberapa mencuat emosi para senior yang sudah lama bekerja di sini tapi belum mendapat apresiasi sama sekali dari atasan perusahaan. Jika itu terjadi, mereka pasti akan segera berusaha membuatmu didepak secara tidak terhormat dari perusahaan ini, Ras. Pun itu sangat mudah, karena kau masih ada dalam masa percobaan seorang pegawai baru,” celoteh Siska.
Laras terdiam.
Siska menjulurkan lehernya semakin dekat dengan wajah manis Laras, “Sekarang bukan jabatan yang kau incar, Ras. Tapi uang, bukan? Jika kau mau bertahan lama di sini, maka bekerjalah sebagai pegawai biasa. Meski bayaran akan meningkat seiring dengan promosi jabatan yang diterima, tapi itu nggak jamin kau bakal lama. Kami bertiga sebagai senior yang baik hendak memberi tahu padamu, bahwa orang berjabatan di sini tidak akan bertahan lama.”
“Mengapa?” tanya Laras.
“Alasannya sudah jelas. Persaingan, usaha saling menjatuhkan, dan penghianatan sudah sering terjadi di dunia perkantoran ini, Ras. Apakah di perusahaan Ayahmu dulu tidak pernah terjadi hal semacam itu? Atau kah kau sebagai calon pewaris menutup mata atas yang terjadi pada calon bawahanmu?” ujar Siska.
Laras menelan ludah.
Brenda menyahut percakapan kedua gadis itu, “Perkara plagiasi ide semacam yang dilakukan Siska ini, telah menyelamatkanmu dari kejamnya para senior lain. Mungkin wajar jika kau marah, karena kau belum tahu sekejam apa senior selain kami. Jadi nggak usah diambil hati, ya, Ras. Kita berempat jangan saling ngejatuhin satu sama lain,” cetusnya. Brenda menjawil perempuan paruh baya di sampingnya, Anik.
“Oh iya, maafin gue, Ras. Tadi gue kesulut emosi, gue kira lo bakal ngelabrak kita tanpa tahu alasan,” tukas Anik.
Gadis dengan setumpuk kertas di tangannya itu mengangguk rendah hati.
“Lo mau ngefotokopi, Ras. Sini kita bantu,” tawar Anik seraya merangkul Laras yang masih kebingungan.
Mereka berempat berjalan menjauhi jendela di ujung lorong itu.
***
Kembali ke loteng perusahaan.
Laras masih terdiam. Menyeruput minuman dengan selera aneh yang ia miliki, kopi hitam. Jarang ada perempuan muda yang lebih memilih minum kopi hitam daripada latte atau sejenisnya.
Lamunan Laras terbuyarkan, ponselnya berdering. Ia segera membaca nama penelpon, Anjasmara? gumamnya. Sontak sorot matanya tertuju pada tanggal yang tertera di layar atas ponsel, 18 Maret 2019, gumamnya sekali lagi.
Suara berat dari hakim yang mendakwa Anjasmara di ruang persidangan lalu, samar-samar terlintas masuk ke telinga Laras, “Dengan ini, saya nyatakan saudara Anjasmara Subardimas positif mengonsumsi barang haram berupa narkoba jenis flakka. Maka terdakwa akan divonis hukuman kurungan serta rehabilitasi dan apabila ditotal lamanya adalah enam bulan,” begitu kiranya yang dikatakan sang hakim silam.
Laras menyangga berat kepalanya di tangan, “Enam bulan? Astaga, artinya dia akan bebas besok!” seru Laras hingga lalai belum mengangkat telepon masuk itu.
Gadis itu menggeser tombol hijau untuk menjawab telepon tersebut.
“Halo?” sapa Laras.
“Kak Laras!” seru pria di seberang sana. Benar, itu suara Anjasmara.
Mata Laras berbinar-binar, sudah sangat lama ia tak mendengar suara adik lelakinya. “Anjas?”
“Iya, Kak. Aku Anjasmara, adik dari Larasati Subardimas, yang masih menyimpan rindu untuk bersua denganmu, enam bulan terakhir ini menunggu di balik jeruji besi.” tukas Anjasmara di sana.
Laras tertawa, “Hei, kau ini! Masih sama seperti dulu, ya. Pandai mengolah bahasa.”
“Hehehe … Gimana kabar, Ibuk dan orang-orang di rumah?” tanya Anjasmara.
“Ish … Apakah kau tidak menanyakan kabarku dulu, Njas?” Laras mendesis.
Lelaki di seberang sana terkekeh, “Baiklah. Apakah Kakak baik-baik aja?”
Laras merajuk, “Astaga, terpaksa sekali nadamu, hahaha … Kakak baik-baik aja di sini. Begitu pun dengan Ayah, Ibuk, dan Adik di rumah. Maaf kami tidak pernah mengabarimu. Kami pindah ke rumah di kampung, katanya itu satu-satu warisan dari Kakek buat Ayah.
Tiap hari para rentenir datang ke rumah, menagih hutang-hutang Ayah yang belum saja lunas selepas bangkrut. Nawang nggak ngelanjutinn pendidikan sementara waktu ini, baru kuketahui ternyata ia lolos ke Oxford dengan jalur reguler yang pada akhirnya dia nggak daftar ulang karena terkendala biaya. Pun aku baru ingat soal beasiswa yang ternyata tidak ia ambil kala pendaftaran dulu. Sedangkan Ibuk telah mencoret angka pada tanggalan setiap hari berganti, menunggu enam bulan berlalu semenjak hari pertama kau masuk ke penjara.”