Maret, 2019
Rumah di kampung, persis beberapa jam selepas jam kerja Laras di kantor berakhir.
“Nawang, yakin masih punya simpenan? Kalau nggak ada, nggak perlu ngasih uang bulanan ke Ibuk kayak gini. Ibuk nggak apa-apa, kok, Wang. Pentingin pendidikanmu dulu. Kamu harus segera lanjut, kan?” ujar Anjani seraya memegang sebuah amplop coklat berisi beberapa lembar uang berwarna merah.
“Nawang yang kenapa-napa. Nawang nggak nyaman kalau Ibuk nolak uang pemberian ini. Jadi, tolong Ibuk terima, ya. Untuk biaya pendidikan, sudah Nawang sisihkan sebagian,” ujar gadis bontot itu seraya melukiskan senyum.
Mata Anjani berbinar-binar, “Bolehkah Ibuk mencium Nawang?”
Nawang mengangguk, kedua bola matanya melebar seketika dengan senyuman yang masih terpampang di wajahnya.
Anjani mendekatkan bibirnya ke kening Nawang, “Anak bontot Ibuk udah dewasa, ya.”
Mereka terkekeh. “Ah, Ibuk! Udah dulu, ya, anak bontot ini mau nge-review barang endorse lagi,” Nawang beranjak menuju kamarnya, meninggalkan Anjani dengan beberapa lembar uang pemberiannya di ruang tamu, satu-satunya ruang berkumpul yang mereka punya di rumah sederhana ini. Bagian yang lain dari rumah ini hanya ada dua kamar tidur, yang satu muat untuk dua orang, yang satu bisa ditempati sekitar empat orang dengan kasur berundak, lalu kamar mandi, dapur, juga gudang kecil di lorong yang sama ketika menuju dapur.
Nawang masuk ke kamarnya yang ia tempati dengan Laras, menutup pintu erat-erat. Senyumnya perlahan pudar, ia meringkuk di belakang pintu seraya merogoh saku dan meraih ponselnya.
Layar ponsel dinyalakan olehnya. Ia segera beranjak kembali dan bertekad akan segera mengunggah review barang-barang dari para supplier yang sudah menggunung di bagian kosong kamar itu, sudut ruangan.