Maret, 2019.
Rumah di kampung. Beberapa menit selepas Nawang masuk ke dalam kamarnya.
“Aku pulang,” ujar Laras dengan suara lirih seraya membawa sepatu haknya ke dalam rumah. “Eh, Ibuk?” sapa Laras.
Anjani rupanya masih belum tidur. Ia masih duduk di kursi ruang tamu ditemani pencahayaan dari lampu pijar dan sebuah novel karya penulis favoritnya, Agatha Christie.
“Udah pulang kamu?” tanya Anjani, memalingkan muka pada Laras.
Laras terdiam sejenak, “Itu retoris, bukan, Buk?”
Mereka terkekeh. “Ih, kamu bisa aja,” ujar Anjani.
Gadis itu mengambil posisi duduk di sebelah Anjani, “Lagian, Ibuk, ngasih pertanyaan yang udah jelas jawabannya. Hehehe” Laras nyengir, kemudian membaringkan tubuhnya di paha Anjani.
“Gimana hari pertama kerja, Mbak? Lelah, ya, pastinya. Maafin Ibuk yang cuma bisa masakin kamu tiap hari, tapi belum bisa bantu cari uang. Apa pegawai di kantormu ramah, Mbak? Atau mereka merisakmu?” tanya Anjani bertubi-tubi.
Laras menengadah, menatap wajah Anjani, “Bentar deh, Buk. Kasih Mbak sedikit celah buat njawab,” gurau Laras.
Anjani mengangguk.
“Ya begitulah, Buk. Kita sebagai manusia nggak bisa memaksakan semua orang untuk menyukai kita. Pasti ada yang nggak suka. Namun, nggak semua suka bukan berarti semua menjadi pembenci, bukan?” celetuk Laras.
Anjani mulai salut dengan sikap Laras yang dewasa. “Anak-anak Ibuk sudah mulai dewasa ternyata. Ibuk lega kalau udah gini jadinya. Semangat ya, Mbak! Dunia ini dipenuhi aspal, bukan sebuah ladang rumput lagi. Kau harus bekerja lebih keras untuk menuju kesuksesan,” Anjani membelai halus rambut Laras yang diurainya selepas masuk ke rumah.