“Konon katanya, menjadi seorang Ibu adalah pekerjaan yang paling sulit dalam kehidupan. Tetapi, semua itu terbayar ketika melihat kebahagiaan terpampang di wajah anaknya hingga penghujung hari.”
***
Rumah di kampung.
“Kami pulang,” ujar Laras pelan. Sebab nampak semuanya sudah tidur. Namun, tebakan Laras kali ini salah. Anjani dan Nawang masih terjaga, keluar dari kamar yang sama, kamar Nawang dan Laras.
Anjani menatap pria yang datang bersama Laras itu dengan pandangan sendu.
“Ibuk?” sapa Anjasmara.
Anjani mengangguk, “Ke mari, Nak, peluk Ibuk!” Perempuan itu membuka lebar kedua tangannya. Anjasmara mendekat diikuti dengan Nawang dan Laras yang menjadi pelapis terluar dari formasi pelukan itu.
Mereka saling menghangatkan.
“Ke mana Ayah, Buk?” tanya Anjasmara.
Anjani tersenyum, “Ayah sudah tidur, badannya masih nggak enak. Tadi siang habis benahin ledeng rumah. Besok kamu temui dia, ya.”
Anjasmara mengangguk, “Eh, ledeng? Ayah bisa, ya?.” gumamnya.
“Tapi Ayah nggak apa-apa, kan?” Lelaki itu melanjutkan ujarannya dengan suara lebih keras agar yang lain mendengar.
Nawang mendekat pada Anjasmara, “Cuma masuk angin, kok, Mas. Ayah nggak apa-apa,” sahutnya.
Mereka terjebak dalam hening sesaat.
“Kita duduk di gazebo depan, mau?” tawar Laras.
Ketiganya mengangguk antusias. “Tapi, katanya Kak Laras mau mandi dulu. Baunya udah kecut,” Anjasmara menutup hidungnya, menggoda Laras.
“Njas, udah, mau kupukul, nih?” Laras memicingkan mata, memandang Anjasmara sadis.