Ruang audisi, Studio Siaran News.
“Anjasmara Subardimas, peserta nomor delapan belas, apa motivasi Anda mengikuti audisi siaran ini, lagi?” ujar salah satu juri senior yang membimbing Anjasmara di audisi sebelumnya. Ia memberi penekanan pada kata terakhir.
“Saya hendak mengasah bakat sekaligus minat saya di bidang broadcasting dan …” Belum sempat ia menuntaskan kalimatnya, tetapi wanita itu sudah mengacungkan tangan, pertanda Anjasmara boleh berhenti bicara.
“Bukankah Anda sudah gagal di audisi sebelumnya? Secara tidak bertanggungjawab mengundurkan diri dari rangkaian karantina karena terjerat kasus narkoba?” tukas juri senior itu.
Anjasmara mempertahankan senyum tulusnya, lalu mengangguk. “Benar, saya sempat gagal sebelumnya dan akan mencoba kembali di kesempatan ini,” cetuk Anjasmara.
“Seorang mantan narapidana hendak menjadi penyiar, bukankah suatu yang pelik untuk industri kita, Bu?” Marina mulai angkat bicara, mengajukan pertanyaan pada juri senior di sampingnya.
Juri itu mengangguk seraya menatap Anjasmara tajam.
“Beri kami beberapa alasan mengapa harus menerimamu di sini?” juri senior satunya turut andil.
“Saya memiliki kesetiaan yang tinggi dan pengetahuan luas untuk siaran,” jelas Anjasmara.
Ketiga juri itu saling menatap, mempertimbangkan.
“Pendidikan terakhir Anda SMA, ya?” tanya juri senior itu lagi.
Anjasmara mengangguk.
“Usia Anda masih muda, tetapi kami kurang yakin untuk menerima Anda di sini. Apalagi MANTAN NARAPIDANA telah melekat dalam diri Anda. Pendapat khalayak tiap kali Anda muncul di layar televisi pasti akan mengarah ke gelar mantan narapidana dan kasus-kasus beruntun keluarga Anda,” ujar Marina dengan menekan bagian ‘mantan narapidana.’