“Bagi semua orang tua, seorang anak tetaplah seorang anak. Sebesar apapun dia, mereka memandangnya sebagai seseorang yang perlu bimbingan.”
***
Hampir tengah malam.
“Anjas pulang,” sapa Anjasmara.
Sama seperti hari-hari biasanya, Anjani selalu menanti kepulangan anak-anaknya ke rumah. Ia tak pernah tidur sebelum semua anaknya sudah berkumpul di rumah.
“Larut sekali, Mas?” tanya Anjani.
Anjasmara tersenyum tipis, “Maaf, Buk. Anjas tadi mampir ke kafe temennya Kak Laras sebelum pulang. Habis bau kopinya menggoda banget, padahal Anjas udah dapet bus tadi.”
Anjani mengangguk. “Yaudah, mandi dulu, gih!” pintahnya. Hari itu Anjani bisa membaca raut kecewa pada air muka Anjasmara. Ia memutuskan untuk tidak bertanya soal audisi pagi tadi daripada harus menyakiti kembali hati putranya.
“Oke, Buk,” Anjasmara berjalan menuju ke kamar mandi dengan handuk yang tersampir di pundaknya sekarang. Sebelum itu, ia meletakkan tas dan map berisi dokumen lamaran kerja di meja ruang tamu.
“Ibuk siapin airnya, ya,” Anjani mengekor di belakang Anjasmara.
“Ah, Ibuk, ini! Anjasmara bukan anak kecil,” pekik pria remaja itu.
Tepat setelah mereka menuju ke belakang, Dimas keluar dari kamarnya. Ia pergi menuju ruang tamu untuk mengambil air putih di dispenser yang terletak di ruangan itu.
Sekilas nampak sebuah surat lamaran tergeletak di meja yang masuk ke pandangan pria tua itu. Tanpa basa-basi, Dimas mengeluarkan kertas di map plastik itu, lalu membacanya sekilas.
“Surat lamaran kerja, Anjasmara Subardimas. Ditujukan untuk Studio Siaran News,” bacanya. Raut wajah pria tua yang penuh dengan lekukan itu sekarang bercampur dengan perasaan gusar.
“Dasar berandal itu! ANJASMARA!” serunya memecah keheningan malam.
Anjasmara dan Anjani yang masih berada di ambang pintu kamar mandi segera bergegas menuju ke ruang tamu kembali. Bahkan Nawang yang tengah berbaring di kamar sendirian langsung berlari terbirit-birit ke ruangan sama.
“Ada apa, Yah?” tanya Anjasmara.
Sebendel kertas putih berisi dokumen lamaran kerja langsung mengalihkan perhatian Anjasmara.
“APA INI?” tegas Dimas.
“Mas, sudahlah bicara pelan-pelan saja. Malu didengerin tetangga!” ajak Anjani.
Dimas menyeringai, “Apakah bahkan Ibu malu dengan pria tua ini?” tanyanya.