Keesokan harinya di rumah kampung.
“Ibuk, maafin Anjasmara, Buk! Ayah, bangun, Yah!” Anjasmara merengek meminta ampunan dari kedua orang tuanya.
Anjani berdiri di hadapan dada busung putranya, lalu memukul-mukul pelan dengan kedua kepalan tangannya secara bergantian.
“Mengapa, Njas? Seharusnya kau bisa menahan arogansimu. Sekali saja, jangan membuat kekacauan! Andai saja kau bisa mengalah pada Ayahmu kemarin,” Anjani tak berhenti menangis. Matanya sembab.
Kini, semuanya hanya tersisa abu, bahkan perasaan mereka turut mati terbawanya. Hanya kata ‘andai’ yang mengiringi penyesalan tiada batas.
Jiwa dan raga Laras, Anjani, Nawang, juga Anjasmara tengah berkabung. Menyesali semua pertikaian tadi malam. Diiringi dengan ragam berita yang meliput penyerangan seorang tokoh tersohor pada masanya di persimpangan dekat kampung rumah mereka.
“Berita terkini, ditemukan jasad seorang pria yang tak asing di mata kita, Mendiang Dimas Abimanyu Cakrawala, mantan pemilik perusahaan pers nomor satu pada masanya. Korban ditemukan tak bernyawa di dekat mobil hitam miliknya.
Diduga segerombolan orang tak dikenal yang dipimpin oleh pria ber-inisial CR. Penyidik masih mencari tahu latar belakang penyerangan ini, tetapi kemungkinan besar berasal dari dendam pelaku kepada korban,” liput seorang reporter di lokasi kejadian.
Layar televisi menampakkan sebuah foto pria muda dengan wajah disensor. Laras memicingkan mata, seolah pernah berjumpa dengan pria di gambar itu.
“Balas dendam? Tuan Kasir?” gumam Laras.
Sekilas masuk ucapan Aliza tentang seorang pegawai korban PHK yang ia pekerjakan di kafenya.
***
Kemarin malam, sesaat selepas pertikaian di rumah Dimas usai.
Mobil hitam yang dikendarai Dimas melaju, menerobos keheningan malam. Lampu depannya menyinari jalan yang ditempuh.
Sepanjang perjalanan, Dimas hanya merenungkan kesalahan yang ia buat selama ini. Tentang gagal yang membuatnya menjadi sosok bebal. Tentang kasih sayang yang ternyata menjadi sebab jatuhnya air mata menggenang. Ia hanya bisa merenung.
Aku telah memotong sepasang sayap malaikat, gumamnya. Air mata mengalir deras dari pelupuk mata.
Dua butir telur dilempar dari arah berlawanan, merusak nuansa sendu yang dibangun oleh pria tua itu. “Sial!” makinya seraya memukulkan kepala ke setir depan.
Dimas meraih tombol penyeka kaca. Namun, yang dilakukannya malah membuat telur itu merata, membuat kabur pandangannya.
Pria tua itu masih menyesali semua kebodohannya, Di mana pun aku berada, aku hanyalah seorang pria yang berlagak pintar, mengemis rasa hormat dari kaum bawahku.
“AH! Kenapa ini harus terjadi sekarang?” teriaknya seraya mengibaskan kanebo kering yang dikeluarkan dari mobil.
Sksk … Suara semak-semak di dekat Dimas bergerak, membuatnya mengamati sekitar.
“Ada orang kah di sana?” serunya seraya berjalan mendekat karena penglihatan pria tua itu semakin terbatas seiring bertambahnya usia.
Segerombolan orang keluar dari persembunyiannya. Ada lima orang bertopeng yang berjalan mendekat ke arah mobil dan pria tua itu berhenti.
“Apakah Anda mengingatku, Pak Dimas?” sapa seorang yang berdiri di tengah, pimpinan penyerangan ini.
Dimas berjalan mundur dengan dahi mengernyit.
“Si … siapa kalian?” suaranya parau.
Lelaki yang menyapanya itu mendekat, lalu membuka topeng persis di hadapan Dimas. “Aku, adalah mantan pegawai perusahaan yang kehilangan pekerjaannya karena ulahmu. Perusahaan pers yang kau jatuhkan beberapa tahun silam karena merasa keberadaanmu terancam oleh kami.”