Bumi Para Pembelit

Noor Cholis Hakim
Chapter #29

Sudut Pandang Nirmala

Maret, 2019.

Perusahaan Surat Kabar Gemintang.

“LARAS!” seru seorang pria berkemeja hitam yang langsung berlari selepas melihat Laras masuk ke gedung perusahaan.

Laras menoleh, “Alberto? Halo, gimana dengan konsep Siska? Apa udah berjalan selama kutinggal beberapa hari ini?” sambut Laras.

Pria itu menghampiri Laras, lalu berjalan di sampingnya. “Sudah selesai,” jawab Alberto datar.

“Apakah kau sudah baik-baik saja? Jika belum, mengapa nggak absen dulu aja?” tanya Alberto.

“Konyol. Kalau aku absen terus, gajiku bisa berkurang, Tuan. Apakah Anda mau membiayai hidup keluargaku, hah?” Laras mendongak, karena tengah berbicara dengan pria yang beberapa sentimeter lebih tinggi darinya.

Alberto terbelalak, “Mau,” jawab pria itu.

Seketika Laras tertohok dengan jawaban mantap Alberto. Gadis yang mengenakan blus putih itu mundur beberapa langkah, menjauh dari Alberto.

“Hei, ada apa?” cetuk Alberto kebingungan.

Laras menutup mulutnya, seolah tak percaya dengan apa yang dikatakan Alberto, “Lagi, lagi, dan lagi. Apakah kau selalu menggoda wanita yang kau temui, Alberto?” Gadis itu masih menutup mulutnya dengan sedikit celah untuk suaranya keluar.

Alberto menggelengkan kepala, “Nggak. Kau satu-satunya wanita yang dekat denganku.”

“Astaga!” teriak Laras.

“Apakah aku salah?” Alberto mengernyitkan dahinya.

Laras diam sejenak sembari melangkah, menyusul ketertinggalan dari Alberto yang beberapa langkah di depannya.

“Aneh. Membiayai hidup orang lain dan keluarganya, itu nggak normal bagi beberapa orang. Sudah lah, mari lupakan itu!” Laras mempercepat langkah, berjalan dengan angkuh untuk menyembunyikan rasa malu atas tingkah aneh keduanya.

Alberto nyengir, “Unik,” gumamnya seraya menggaruk tekuk leher.

***

Ruang kerja Tim Redaksi.

“Ada sesuatu mendesak yang harus kita bahas saat ini,” seorang pria berjas, Aris Dewandaru, dengan wibawanya masuk ke ruang kerja tim redaksi. Tingkah cekatannya yang secara tiba-tiba, berhasil membuyarkan lamunan beberapa staff.

Laras berjalan masuk ke ruangan, tepat setelah Aris, dengan beberapa paper bag yang masing-masing muat untuk membawa empat kopi. Gadis itu membungkuk, memotong jalan di depan Aris, lalu membagikan kopi pesanan para staff lainnya.

Kopi sudah dibagikan, tersisa dua gelas, miliknya dan Alberto.

“Ah, Bu Laras, apakah itu milik saya?” Aris memecah fokusnya ketika mencium aroma kopi yang dibawa Laras, tersisa dua di tangan gadis itu.

Laras bergeleng dan tersenyum, “Ini milik Pak Alberto dan satunya milik saya. Apakah, Pak Aris, mau saya ambilkan?”

Lihat selengkapnya