Maret, 2019.
Di penjara, tempat Nirmala ditahan.
“Bu Laras, Pak Alberto, kalian tunggu di sini, ya. Kumpulkan data lengkap mengenai riwayat hidup saudari Nirmala. Aku akan masuk ke dalam dan mewawancarainya,” pintah Siska seraya membenahi riasannya di cermin lipat yang menempel menjadi tutup bedak.
Laras dan Alberto mengangguk datar.
Siska masuk ke dalam ruang investigasi dengan sebuah buku catatan beserta alat tulis di tangannya.
Laras masih mengunci pandangannya ke bagian belakang tubuh Siska yang perlahan ditelan pintu ruangan.
“Kok bisa, sih, anak itu berubah-ubah sikapnya? Semudah itu, kah?” Laras memandang Alberto.
Pria itu mengangkat kedua bahunya, “Udah lah, ayo kita minta berkas tahanan ke sipir.”
Laras mengekor di belakang Alberto, tetapi pandangannya masih tak bisa lepas dari Siska yang bisa dilirik sedikit dari celah pintu. “Tukang playing victim emang segampang itu buat cari muka,” gumam Laras gusar.
Alberto kemudian menarik tangan Laras agar mempercepat langkahnya. “Ayo, Ras!”
***
Ruang Arsip Data Narapidana.
“Segera cari yang kalian perlukan, lalu kembalikan kunci ruangan ke saya, ya,” pintah seorang sipir sembari mempersilakan masuk Laras dan Alberto.
“Siap, Pak!” seru Laras, diterimanya kunci yang disodorkan oleh sipir pria tersebut.
Sipir itu segera meninggalkan mereka berdua.
“Ayo, Ras!” ajak Alberto. Mereka berdua melangkah lebih masuk ke dalam ruangan, menulusuri dengan teliti rak dan dokumen-dokumen yang berjajar rapi di dalamnya.
Keduanya membagi tugas untuk menyusuri rak yang berbeda, namun dalam lorong sama, sehingga masih berjalan berdampingan.
“Ternyata penjara nggak segelap bayanganku, ya, Al,” ujar Laras mencairkan suasana.
Alberto mengangguk dan tersenyum.
Suasana kembali serius. Atmosfer yang padat seolah terbangun di ruangan itu, membuat suasana sulit mencair.
Laras memberanikan diri meraih tangan Alberto, “Alberto, bisa berhenti sebentar.”
Ucapan Laras membuat pria yang berjalan lebih cepat darinya itu berhenti, “Ada apa, Ras? Apakah kau sakit?” Alberto memperlakukan Laras seperti anak kecil.
Laras sontak menggelengkan kepala, “Hah? Enggak, hehehe …”
“Maafkan aku yang selalu memperlakukanmu dengan sinis. Aku terlalu cuek, jual mahal, dan nggak tahu diri ke kamu. Padahal, kamu orang yang selalu baik ke aku. Makasih, ya, udah mau bertahan sama aku. Aku akan usaha buat jadi teman yang baik, jadi bukan cuma kamu aja yang bisa baik ke aku. Maaf dan makasih, ya!” Laras mendongak, menatap Alberto dengan mata berbinar-binar.
Alberto meringkuk sedikit, “Nggak masalah. Santai aja, dalam pertemanan nggak ada rasa bersalah dan balas budi yang membebani salah satunya. Oke, Ras?”
Laras mengangguk mantap. “Oh iya, aku enaknya panggil kamu apa? Al atau Ber atau mungkin To? Janggal aja kalau panggil lengkap,” Laras menyunggingkan bibir.
“Al aja, nggak apa-apa. Hehehe …”
Mereka berbincang seraya meneruskan perjalanan.
“Em … Ras, boleh tanya sesuatu, nggak?” Kini, Alberto yang memulai perbincangan.
Laras menoleh dengan wajah bergas, “Iya, ada apa?”
Pria itu sedikit tidak yakin dengan pertanyaanya, “Maaf sebelumnya …” Laras berhasil memotong pertanyaan Alberto sebelum tuntas, “Eits, tadi katanya nggak ada kata ‘maaf’ dalam pertemanan.”
“Ehehe … Gini, kamu, kan, cewek, ya? Pernah menelan hidup mewah dari kedua orang tuamu. Saat jatuh seperti ini, mengapa kamu bisa sekuat ini?” tanya Alberto.
Laras mencoba mencerna kalimat pria itu, “Em … Alasannya simpel, sih, karena aku mandiri. Aku nggak pernah nggantungin hidup ke orang lain. Mungkin banyak orang di luar sana beranggapan kalau anak orang kaya pasti manja, apalagi perempuan. Tapi, bagiku itu hanyalah stereotipe.”
“Lalu, kamu nggak pernah marah ke keadaan atau kedua orang tuamu? Setahuku, banyak hal yang harus kamu korbanin gara-gara jadi tulang punggung keluarga saat ini. Bahkan aku pernah dengar, kamu minta gaji ke Bos di awal kerja buat lunasin hutang Ayahmu,” timpal Alberto.
Laras terpelongo mendengar kalimat terakhir itu, “Kamu tahu darimana soal masalah gaji itu?”