April 1986.
Kontrakan kecil Dimas dan Anjani. Tepat ketika musim kemarau menggantikan musim hujan.
“Kita harus ke sana, Dik!” seru Dimas pada Anjani.
Anjani menggelengkan kepala dengan butiran air mata menetes deras dari pelupuk mata.
“Nggak, kita nggak akan ngelakuin aborsi ke anak ini. Ikuti saja rencanaku!” pintah Dimas.
Lelaki itu menjelaskan secara rinci pada sang istri tentang apa yang dia pikirkan.
Anjani bersiap, membawa satu bendel kertas berisi naskah novel tulisannya. “Ini akan cukup membiayai hidup mereka nanti, Mas. Aku akan meminta dia menerbitkan ini jika sesuatu mendesak.”
Dimas mengangguk dan menggandeng tangan Anjani.
***
Praktik Aborsi Nirmala.
“Bantu kami melahirkan anak ini, asuh dia seperti anakmu sendiri. Tolong lakukan itu untuk kami! Kami berjanji akan memberi hidup yang layak untuk dirimu dan anak ini,” pintah Dimas dengan kedua mata berbinar. Lelaki itu belum memiliki ego untuk menjaga kehormatannya, sehingga ia rela berlutut di hadapan Nirmala.
“Benarkah? Apa yang akan kalian lakukan untuk itu?” tanya Nirmala.
Dimas mengangkat kepalanya, menatap dua titik pekat pada bola mata Nirmala.
Anjani mengeluarkan satu bendel kertas yang ia simpan di dalam tasnya. “Saya akan memberikan ini pada Anda. Terbitkan naskah ini jika situasi mendesak. Timbal balik dari penerbit kepada penulis atas penjualan buku cukup banyak hingga bisa cukup menjamin hidup Anda dan anak dalam kandungan saya,” jelas Anjani sembari mengulurkan naskah ke tangan Nirmala.
Nirmala membaca sekilas naskah yang ia pegang.
“Em … Tapi ini belum bisa menjamin kehidupan layak.”
Anjani menatap Dimas.
“Maksud, Anda?” Dimas masih belum bisa menangkap apa makna tersirat yang dikatakan Nirmala.
Nirmala mencondongkan bibirnya, “Aku bisa mendapat uang dari penerbit jika penjualan buku ini laris, jika tidak, bagaimana aku bisa memberi makan dan membelikan kebutuhan anak Anda?”
Anjani dan Dimas terdiam.
“Hanya itu yang kami punya,” suara Anjani parau. Pandangannya tertunduk.
Nirmala memutar otak, “Aku tidak bisa menjamin anak ini akan hidup dengan perut kenyang tiap harinya. Kebutuhanku sendiri juga banyak. Jika kalian menitipkan anak ini padaku, maka aku juga harus berhenti bekerja. Sebab pekerjaan mengurus anak itu sudah berat. Toh, apa kalian mau jika anak ini mengetahui pekerjaan kotor dari perempuan yang mengasuhnya. Ingat satu hal, ‘Seorang anak belajar dari apa yang mereka lihat.’ Benar, bukan?”
Keduanya mengangguk.
“Apa alasan kalian memintaku mengasuhnya? Untuk sekadar menutupi aib atau karena kalian belum pantas mengasuhnya, hah?”
Dimas menyahut pembicaraan, “Selepas ini kami akan fokus untuk bekerja. Tiap bulan, saya janji akan mengirim Anda uang untuk memenuhi kebutuhan kalian berdua.”
“Nah, itu baru Ayah yang cerdas,” ujar Nirmala dengan senyum bengis.
“Kita akan melakukannya sekarang?” lanjut perempuan itu.
Anjani mengangguk ragu.
“Mari pergi ke kamar saya!”
Proses kelahiran itu dilakukan dengan bantuan Nirmala di rumah kayu sederhananya. Tempat yang cukup gelap dengan penerangan mengandalkan lentera-lentera.
Anjani berbaring di ranjang. Nirmala mulai melakukan pekerjaannya, bukan sebagai peng-aborsi, melainkan lebih persis seperti seorang bidan.
“Kukira ini akan menjadi korban bayi ke dua puluh. Tetapi sepertinya langkahku sebagai pelaku aborsi harus terhenti pada angka sembilan belas,” gumam Nirmala.
Dimas menunggu di depan ruangan, mendengar teriakan dari sang istri di dalam sana. Lelaki itu memikirkan matang-matang apa yang harus ia lakukan setelah membuat perjanjian dengan Nirmala tersebut.
Selang beberapa menit kemudian.
Nirmala keluar dari ruangan dengan seorang bayi lelaki dalam gendongannya dibalut oleh kain bedong.
“Siapa nama bayi lelaki ini?” ujar Nirmala.
Dimas bangkit dari duduknya. Lelaki itu memutar otak.
“Apakah kalian tidak memiliki nama marga?” tanya Nirmala.
Lelaki itu masih terdiam, sebelum benar-benar memutuskan.