April 2019.
Penjara.
“Aku harus menemui tahanan bernama Nirmala,” tukas Laras ketika seorang sipir berdiri menyambutnya di balik meja.
“Baiklah, tunggu sebentar di sana,” pintah sipir tersebut.
Laras mengalihkan pandangannya menuju arah yang ditunjuk oleh tangan sipir di hadapannya. Nampak sebuah kursi yang berhadapan dan dipisahkan oleh tembok pembatas dengan bilik-bilik kaca dan lubang sebagai jalan keluar suara. Tembok pembatas antara tamu dan tahanan tersebut membentang cukup panjang, satu deret bisa memuat lima pertemuan.
Gadis itu bergedek, “Bisa, kah, saya menemuinya di ruangan tertutup? Ada sebuah hal privasi yang hendak saya katakan. Mengingat di tempat tersebut bukan hanya saya dan tahanan Nirmala yang mengadakan pertemuan.” Sesekali kedua bola mata Laras mengarah ke bilik pertemuan tersebut.
Sipir yang menjadi lawan bicara Laras itu mempertimbangkan permintaan Laras.
“Sepertinya ruang investigasi tengah kosong saat ini. Apakah Anda mau bertemu tahanan di sana?” tawar sipir tersebut.
Laras segera membuat anggukan mantap, “Ya, saya mau!” serunya.
“Silakan masuk terlebih dahulu! Saya akan memanggil tahanan ke tempat tersebut,” pintah sipir.
Laras mengangguk dan segera melangkah menuju ruang investigasi yang dimaksud oleh sipir.
Gadis itu menarik tuas pintu, kedua tangannya berkeringat. “Semoga nggak terjadi apa-apa,” batin Laras. Selepas dibuka olehnya, ada dua buah kursi yang dipisahkan oleh sebuah meja, sehingga tahanan dan tamu bisa leluasa tanpa ada dinding pembatas dan bilik kaca.
Laras duduk di kursi dekat pintu masuk depan.
Sejurus kemudian seorang wanita dengan borgol di tangannya diantar masuk oleh seorang sipir ke dalam ruang investigasi melalui pintu belakang.
Wanita berborgol itu duduk di hadapan Laras. Dia memandang pelik gadis di hadapannya itu. Sebab ini kali pertama mereka bertemu, asing.
“Siapa gadis cantik ini?” sapa Nirmala pada Laras.
Laras melontarkan senyuman, “Larasati, Bu.”
“Apakah ada wawancara pers lagi? Mengapa aku disuruh menemuimu di ruangan ini?” Nirmala memandang langit-langit ruangan yang cukup gelap ini.
Gadis itu menggelengkan kepala, tetap mempertahankan senyuman di wajahnya. “Tidak, saya hendak menanyakan kabar Anda, Bu. Apakah Ibu baik-baik saja di sini?” tanya Laras.
Nirmala mengernyitkan dahi, “Apa kita pernah bertemu sebelumnya?”
Laras menggelengkan kepala.
“Wajahmu seperti tidak asing di mataku, seperti wajah seorang penghianat di masa laluku,” Nirmala menyeringai.
“Apakah Anda masih mengingat tentang peristiwa di tahun 1986 hingga 1996?” sahut Laras.
Nirmala mengangguk, “Tunggu, bagaimana kamu bisa mengenalku?”
Laras menyiapkan mental, menarik napas dalam-dalam, “Saya adalah anak dari Dimas Abimanyu Cakrawala dan Anjani Citta Ba …”
Nirmala segera menyerang Laras sebelum gadis itu menuntaskan kalimat perkenalannya. Wanita itu mencekik leher Laras hingga terbaring lemah di lantai-lantai ruangan.
“SUDAH KUDUGA! Kau pasti darah daging dari pria dan wanita busuk itu!” kecam Nirmala.
Laras terbatuk, ia hampir kehabisan napas.
“MATI KAMU SEKARANG!” seru Nirmala sembari memperkuat cekikan di leher Laras.
“Le … pas … kan!” Laras memandang Nirmala dengan kedua mata berair. Suara gadis itu parau, bahkan wajahnya pucat karena saluran pernapasannya terganggu oleh ulah Nirmala.