April 2019
Makam Dimas.
“Di mana makam Bapak, Ras?” tanya Joko. Kedua tangan pria itu tampak sibuk memegang wadah berisi bunga dengan air yang membuatnya segar.
Laras menyelidik, “Beberapa meter di depan sana, Al.”
Joko terkekeh dengan ucapan Laras, membuat gadis di sampingnya itu sadar telah melakukan kesalahan.
“Astaga. Mengapa aku selalu lupa bahwa harus memanggilmu dengan sebutan ‘Kakak’. Aku harus benar-benar belajar agar nggak dipandang buruk oleh orang lain,” celetuk Laras.
“Dipandang buruk gimana maksudnya?”
Laras menatap mata pria itu, “Aku adalah seorang adik saat ini. Sedikit bersyukur, karena pada akhirnya bukan aku lagi yang menyandang gelar Si Sulung. Maka aku harus belajar memanggilmu Kakak, karena ternyata pria yang selama ini menjadi sahabatku adalah Kakakku sendiri. Kita sedang nggak bermain sinetron, bukan?” gurau Laras.
Tawa Joko segera meledak saat itu. Laras mencubit perut samping Joko Berjo.
“Jaga sikap, Kak. Kita sedang ada di makam,” pintah Laras.
Joko mengangguk sembari menyunggingkan bibir.
“Eits, perut Kakak sehat juga ya, nggak buncit sama sekali. Ada roti sobeknya nggak, Kak?” tanya Laras ngelantur.
Kedua pipi Joko memerah, “Apaan, sih, kamu, Ras? Asal kamu tahu, kadar lemak dalam tubuhku sangat sedikit.”