Bumi Pertiwi

risma silalahi
Chapter #1

Semua Akan Baik-Baik Saja

Kota Anging Mamiri, September 1997

 

“Ayo, ayo! Cepat bergegas Pak, Bu, bawa barang seperlunya saja!” teriak salah seorang aparat keamanan yang membantu mengevakuasi warga etnis Tionghoa, seraya menggendong seorang bayi perempuan berusia kurang lebih satu tahun yang tak henti menangis, sementara kedua orang tuanya sibuk menyiapkan barang-barang penting yang akan mereka bawa.

Dengan cepat keduanya berlari menuruni anak tangga hingga ke lantai dasar, diikuti oleh aparat keamanan yang mengarahkan dan membantu menggendong bayi mereka.

Di depan pintu ruko milik keluarga itu, telah terparkir berjejer mobil truk milik aparat yang siap berangkat membawa mereka. Sepasang suami istri yang hanya mengenakan pakaian tidur itu nampak kewalahan menenteng barang-barang bawaan mereka, yang hanya sempat dimasukkan ke kantong plastik kresek hitam besar sambil berlari cepat ke pintu keluar dan secepatnya menuju ke mobil truk. Beberapa anggota aparat keamanan lain nampak sigap memegang tangan dan membantu mereka satu per satu naik ke dalam mobil truk.

Meneropong ke dalam mobil truk, yang sudah hampir penuh oleh warga etnis keturunan Tionghoa. Tampak orang-orang tua dan para wanita yang sedang menggendong bayi mereka menempati kursi memanjang berhadapan-hadapan. Di bagian bawah yang beralaskan tikar duduk para pria dan anak-anak. Wajah-wajah itu menunjukkan kepasrahan, rasa sedih yang mendalam, kepanikan, meninggalkan rumah dan toko-toko milik mereka beserta barang-barang dagangan yang masih ada di dalam toko. Isak tangis tertahan beberapa wanita terdengar pilu menyayat hati. Seluruh hasil keringat dan kerja keras mereka, terbayang akan musnah hanya dalam satu jentikan jari. 

Saat itu sudah lewat tengah malam menjelang subuh, ketika konvoi senyap mobil truk aparat keamanan menyusuri kegelapan malam menunaikan misi penyelamatan untuk mengamankan seluruh warga etnis non pribumi yang menjadi sasaran kejadian di kota Anging Mamiri, menuju ke suatu tempat pengungsian aman yang sudah dipersiapkan.

Kejadian sebelumnya dipicu kematian seorang anak perempuan berumur 9 tahun, yang dib*c*k oleh seorang pengidap gangguan jiwa yang merupakan etnis Tionghoa. Peristiwa ini menyulut kemarahan warga, yang berimbas pada terjadinya kerusuhan yang menyebabkan pelemparan, penjarahan dan pembakaran rumah dan toko-toko warga keturunan Tionghoa.

 Keesokan harinya, massa yang marah berjalan melakukan konvoi mengelilingi pusat kota, sambil berteriak-teriak mereka melempar, bahkan membawa bensin yang sudah dipersiapkan dan menyulut api untuk membakar toko-toko yang berjejer di sepanjang jalan. Sebelumnya mereka sudah terlebih dahulu merusak dan membongkar paksa toko-toko itu dan menjarah semua barang-barang yang ada di dalamnya. 

Sebuah Fashion Store besar yang terletak di pinggir jalan besar di pusat kota, nampak dipenuhi warga sekitar yang sedang beramai-ramai menjarah dan mengosongkan isi toko itu. Mereka melemparkan barang-barang dagangan ke jalanan, yang langsung menjadi perebutan warga. Suasana yang amat memprihatinkan, rasa kemanusiaan seakan-akan hilang, hanya terlihat keserakahan dan ketamakan.

Sehari sebelumnya, saat matahari masih tampak di ufuk Timur, aktivitas kota masih berlangsung seperti biasanya. Toko-toko mulai banyak yang tutup, namun aktivitas perkantoran dan sekolah masih berlangsung seperti biasa.

Waktu itu sekitar pukul sembilan pagi. Di sebuah Sekolah Dasar Swasta yang terletak di pusat kota, kegiatan belajar mengajar sedang berlangsung. Dering bunyi telepon di ruang Tata Usaha terus terdengar. Seorang staf Tata Usaha sekolah itu sangat sibuk menerima panggilan telepon. Para orang tua yang cemas berusaha untuk menghubungi pihak sekolah menanyakan keberadaan anak-anak mereka. Mereka ingin segera datang dan menjemput anak-anak mereka pulang.

Lihat selengkapnya