Bumi Pertiwi

risma silalahi
Chapter #2

Memulai Kehidupan yang Baru

November 1997

 

Di dalam ruang tunggu Bandar Udara Sultan Hasanuddin, Hendrik Alvandy bersama istri dan kedua anaknya tengah bersiap-siap meninggalkan kota Anging Mamiri berangkat ke Ibukota Jakarta.

Tampak barisan antrian panjang untuk masuk ke dalam kabin pesawat. Wajah-wajah itu didominasi oleh warga etnis Tionghoa yang akan meninggalkan kota menuju tujuan Jakarta. Trauma hebat yang mereka alami, membuat mereka mengambil keputusan untuk mengungsi ke rumah saudara maupun kerabat mereka, baik itu sementara maupun untuk menetap.

“Selamat siang, Pak, Ibu, Silahkan masuk,” senyum ramah pramugari ayu menyambut satu per satu penumpang untuk dipersilahkan masuk ke dalam kabin pesawat.

Hendrik Alvandy berjalan sambil menggenggam erat tangan putranya, diikuti oleh istrinya yang menggendong bayi mereka masuk ke dalam kabin pesawat. Mereka duduk berjejer. Hendrik mengambil tempat duduk di dekat jendela, tepat disampingnya duduk putranya, Bumi, dan di sebelahnya lagi istrinya yang sedang memangku bayi mereka.

Setelah beberapa saat berselang, burung besi raksasa itu mengudara. Melesat secepat kilat menembus awan membelah langit kota itu, meninggalkan sejuta kenangan manis dan pahit di kota Daeng.

Berada pada ketinggian tertentu, udara dingin mulai menyelimuti. Hendrik memandang ke arah jendela, menikmati maha karya ciptaan Tuhan yang tiada tandingannya. Langit cerah. Tampak jelas gumpalan-gumpalan awan putih seolah bergerak menari-nari. Matahari yang bersinar dengan terang, menyilaukan pandangannya. Matanya kini mengarah bawah, hamparan laut luas, dengan titik-titik pulau bertebaran. Hatinya diliputi kelegaan, ucapan syukur kepada Tuhan, ia dan keluarganya berhasil luput dari mara bahaya.

 “Pa ...,” panggilan istrinya mengagetkannya. “Kita akan baik-baik saja. Kita semua selamat dan bersama-sama, itu yang terpenting.” Kini istrinya merangkulnya hangat.

Bumi hanya duduk terdiam, entah apa yang dipikirkannya saat ini. Dia sudah cukup mengerti apa yang telah menimpa keluarganya. Bulan depan, usianya genap sembilan tahun. Adiknya, Pertiwi terlelap pulas di pangkuan ibunya. Bayi itu bahkan tidak mengerti apa yang telah terjadi.

Pesawat kini telah mendarat di Bandara Internasional Soekarno Hatta.

“Rudy! “seru Hendrik sambil mengangkat tangan melambai.

“Hei, Ko Hendrik!” teriak adiknya itu. Mereka saling berpelukan sambil menangis.

“Puji Tuhan, Koh. Sudah sampai disini,” kata Rudy memeluk kakaknya.

“Bumi?” seru Rudy sambil mengangkat keponakannya. “Uh ... berat sekali. Kamu sudah tinggi, terakhir kali ketemu Om, Bumi masih setinggi ini," Rudy memperagakannya sambil meletakkan tangan di pinggangnya.

"Masih ingat sama Om, nggak?”

Lihat selengkapnya