Suara detakan jam dinding memecah kesunyian malam. Setiap detakannya masih terdengar jelas di telinga Meisha. Ia belum juga tertidur. Khayalannya terbang ke masa lampau, hingga berhenti tepat pada saat peristiwa itu. Di tengah malam buta mereka dipaksa keluar meninggalkan tempat tinggal mereka, hanya berbekalkan barang seadanya, meninggalkan segala yang mereka raih dengan susah payah, dan memulai dari awal kembali. Kini, akankah semuanya akan terulang lagi? Hatinya gelisah, rasa takut mulai membayang. Ia membalikkan tubuhnya ke kanan dan kiri, sesekali ia duduk dan berbaring kembali. Hingga akhirnya pandangannya berhenti ke arah wajah suami yang sangat dicintainya. Wajah yang terlelap itu memberikan keteduhan baginya. Kini ia merengkuh suaminya, hangat tubuhnya menyatu dengan hangat tubuh suami terkasihnya. Memberikannya rasa aman yang membawanya pergi ke alam mimpi.
Hari masih pagi benar, saat Meisha sudah selesai menyiapkan segala perlengkapan yang akan mereka bawa. Ada dua buah travel bag trolley besar, dan tiga potong tas pakaian besar jinjing tempat pakaian dan perlengkapan anak-anaknya. Sebuah keranjang rotan berbentuk kotak telah ia siapkan untuk bekal makanan di perjalanan.
“Semunya beres, jika sewaktu-waktu akan berangkat, semuanya sudah siap.” Meisha merasa puas.
Hendrik dan Rudy tampak tenggelam dalam pembicaraan yang serius di lantai bawah. Meisha bergegas turun dan bergabung dalam pembicaran mereka.
“Ada apa, Pa?” katanya saat melihat wajah tegang suami dan adik iparnya.
“Demontrasi terjadi lagi, dan kali ini bukan hanya demonstrasi saja, Ma. Di pusat kota, sudah mulai terjadi kerusuhan. Pusat-pusat perbelanjaan dan toko-toko sudah menjadi sasaran pelemparan dan penjarahan warga. Kita tidak bisa tinggal lebih lama lagi. Kita harus berangkat sekarang,” kata Hendrik gusar.
“Tapi, suami Hanna masih di luar kota. Rencana besok pagi tiba. Kita tidak tahu jalan ke sana. Tidak bisakah kita menunggu mereka datang dan bertahan satu malam saja?” kata Meisha dengan wajah ragu.
Setelah melalui perdebatan demi perdebatan, akhirnya mereka pasrah dan menunggu kedatangan Hanna dan suaminya esok hari, karena sepertinya tidak ada pilihan lain.
Malam kembali tiba. Meisha tak kunjung terlelap. Kali ini suaminya juga tidak dapat tidur. Hendrik tampak larut dalam lamunannya. Meisha mendekat kepada suaminya, ia tahu bahwa suaminya sedang berusaha menahan tangis.
“Pa, kata Meisha langsung memeluk suaminya.” Suaminya menyambut pelukannya, lalu mereka menangis bersama. Tidak ada kata yang keluar dari mulut mereka berdua, hanya isakan tangis yang tak dapat terbendung lagi.
Meisha mengunjungi kamar putra putrinya. Keduanya sudah tertidur lelap. Meisha menyelimuti putranya dengan perlahan.
“Sayang, tidurlah yang nyenyak. Mimpi indah,” ucapnya sambil mencium kening Bumi.
Di samping ranjang Bumi, dalam box bayi, Pertiwi sedang tidur menelungkup. Meisha mengangkat Pertiwi ke dalam pelukannya dengan sangat hati-hati, tidak ingin membangunkan bayinya itu. Kemudian membawanya dan duduk di ranjang Bumi. Kini ia memeluk kedua anaknya itu dan menangis. Ada suatu perasaan yang menghinggapinya, perasaan yang teramat dalam, seolah-olah ia akan pergi jauh dan berpisah dengan anak-anaknya.
“Tuhan, lindungilah kedua buah hatiku. Jika aku tidak bisa terus mendampingi mereka, aku tahu mereka ada dalam penyertaan-Mu.”
Matahari kini kembali bersinar. Suara dering telepon berdering, Meisha segera mengangkatnya.
“Selamat pagi, Bu. Maaf kami belum bisa ke sana sekarang,” tampak terdengar jauh suara Hanna dari telepon. “Jalanan macet parah, Mas Satya terjebak di jalan. Tadi dia menelpon dari bilik telepon di tepi jalan.”
Terdengar helahan nafas Meisha. “Iya, Hanna. Tidak apa-apa. Kami akan menunggu,” jawabnya singkat.
Wajahnya nampak cemas dan kecewa. Ia berbalik menatap Hendrik dan Rudy bergantian sambil menggelengkan kepala.
Kini mereka duduk dan menghidupkan televisi, untuk mengikuti perkembangan kejadian yang sedang terjadi.
“Massa kini bergerak memasuki wilayah Timur Jakarta, terjadi pembakaran dan penjarahan di mana-mana.”
Wajah Hendrik tampak menegang dan langsung mematikan televisi. Mereka saling berpandangan.
“Pa, bagaimana ini?” Meisha mulai menangis.
“Kita harus tenang,” kata suaminya.
Mereka lalu saling bergandengan tangan dan berdoa,