Bumi Pertiwi

risma silalahi
Chapter #6

Harapan Masih Ada

Tragedi memilukan itu masih terjadi selama beberapa hari lamanya, yang membuat Indonesia menjadi sorotan di dunia internasional dan mengguncang dunia. Tidak hanya dalam hal politik, di mana pemerintahan yang berkuasa saat itu mulai goyah, namun juga karena adanya pelanggaran HAM berat yang terjadi, dan situasi keamanan yang semakin tidak terkendali.

Demonstrasi masih terus meluas hingga ke seluruh pelosok Indonesia. Berita tentang kerusuhan dan demonstrasi ini terus dikumandangkan dimana-mana. Di koran, televisi, menjadi pembicaraan hangat bagi semua orang.

Kota Jakarta masih lumpuh. Nampak jalanan lengang, sampah-sampah sisa bakaran masih mengepul di tengah jalanan. Bau asap menyengat meliputi puing-puing bangunan yang terbakar habis. Korban-korban berjatuhan. Suatu pemandangan yang menyayat hati.

 

Di sebuah rumah sakit besar di kota itu.

“Tiit ... tiit ... tiit ...” bunyi suara monitor ICU terdengar perlahan di telinga Bumi. Semakin lama semakin terdengar jelas.

Bumi mencoba membuka matanya, namun segera ditutupnya kembali sambil menahan rasa sakit di kepalanya. Ia mencobanya lagi. Setelah berhasil membuka kedua matanya, silau lampu membuat pandangannya berbayang. Ia berusaha fokus untuk melihat apa yang terjadi di sekelilingnya. Ruangan itu begitu dingin, tubuhnya menggigil. Ia menghirup nafas panjang melalui selang oksigen yang sedang menempel di hidungnya. Tubuhnya hanya ditutupi selimut. Ia mencoba menariknya, tampak kabel-kabel malang melintang di sekujur tubuhnya.

“Aku selamat,” batinnya sambil mencoba mengingat apa yang terjadi.

Hal terakhir yang diingatnya adalah api besar yang membakar rumahnya beserta seluruh keluarganya.

Tak terasa air matanya kembali berlinang, dan bibirnya kembali memanggil-manggil,

“Mama ... Papa ... Pertiwi ...!” ia terus memanggil orang-orang yang dicintainya.

Isak tangisnya lirih bagaikan irama yang menyayat hati. Sambil menahan rasa sakit di sekujur tubuhnya, ia berusaha bangun. Tepat di bawah kakinya, Tante Hanna sedang tertidur.

“Tante Hanna?” panggilnya pelan.

Di dalam tidurnya, Hanna seolah-olah mendengar seseorang memanggil namanya. Rasa lelah yang sangat membuatnya tidak bisa menahan kantuknya lagi.

Ia mengangkat kepalanya dan menatap, “Bumi? Bumi, sayang, kamu sudah sadar, Nak?” serunya kaget bercampur gembira.

Hanna bangun dan mendekat kepada Bumi. Ia mengelus kepala anak majikannya itu dengan sayang. “Tante di sini, sayang. Tante akan menjaga Bumi, Bumi tidak sendirian,” katanya dengan lembut.

Bumi menatap tante Hanna, kemudian tangisnya pecah. Hanna memeluk Bumi erat.

“Sabar, Nak. Semuanya akan baik-baik saja. Tuhan menjaga kita.”

Lihat selengkapnya