Tahun 2006
Di tepian sungai sebuah desa di kaki bukit,
Seorang anak muda sedang memandikan seekor kerbau gembul, dengan kedua tanduk yang panjang dan tajam. Sambil bersiul-siul ia membersihkan seluruh badan kerbau itu.
Setelah selesai memandikannya, ia berputar mengelilingi tubuh kerbau itu sambil mengangguk-angguk puas. Kerbaunya itu kini tampak begitu mengkilap. Seketika kerbau itu menggeleng-gelengkan kepala dan ekornya, airnya terpercik ke sana kemari.
“Leopard! Hentikan! Bajuku jadi basah semua,” teriak anak muda itu.
“Ayo, kita keringkan badanmu,” kata anak muda itu sambil menarik tali yang diikatkan pada hidung kerbau itu.
Ia lalu mengikatnya ke pohon besar yang berada di dekat tepi sungai itu. Anak muda itu lalu membuka bajunya dan masuk ke dalam sungai untuk berenang.
“Brrrg, segar sekali.”
Arus deras sungai menusuk-nusuk tubuhnya yang bertelanjang dada,
“Enak sekali, rasa pegal-pegal hilang.” Ia terus berenang sambil menikmati indahnya alam di sekitarnya. Ia menengadah ke atas menatap langit. Burung-burung putih beterbangan searah melintasi langit biru, sungguh paduan warna sangat cantik. Dari kejauhan, Leopard memandangnya tajam, dengan pandangan iri, seolah-olah ingin masuk kembali ke sungai itu.
Selama beberapa saat ia berenang, ia kembali ke pinggir sungai dan berbaring telentang di atas batu-batu.
“Leopard!” panggilnya kepada kerbau gembul itu.
“Bagaimana menurutmu? Apa aku harus meninggalkanmu dan pergi ke kota? Meninggalkan semua keindahan ini?” katanya bercakap-cakap dengan kerbaunya.
Ia teringat akan permintaan tantenya, Tante Hanna.
Bumi sudah berusia 17 tahun sekarang. Kulitnya nampak mulai gelap, oleh karena panasnya matahari yang setiap hari membakar kulitnya. Ia suka berlama-lama di bawah sinar matahari. Walaupun begitu, wajahnya terlihat tampan dengan rahang yang tegas, dagu yang lancip. Tubuhnya tinggi dan kekar. Otot-ototnya terbentuk dengan sempurna. Walaupun usianya masih muda, Ia seorang pekerja keras. Setiap hari, ia bangun saat matahari belum terbit. Mempersiapkan kayu api untuk memasak. Setelah itu, ia membawa Leopard ke arah bukit dengan rumput yang luas dan menambatnya pada sebuah pohon besar di situ. Setelahnya, ia mempersiapkan diri untuk berangkat ke sekolah. Sekolahnya berjarak kurang lebih tiga kilometer ditempuh berjalan kaki.
Sepulang dari sekolah, Bumi makan dan beristirahat. Menjelang sore, ia membantu Tante Hanna di kebun, mencari kayu api dan memberi makan ternak-ternak, atau melakukan pekerjaan apa saja yang perlu dilakukan. Saat hari menjelang malam, ia kembali menjemput Leopard di bukit untuk dibawa pulang ke rumah. Ia belajar pada malam hari. Beruntung listrik sudah masuk di desa itu, sehingga kegelapan bukanlah menjadi masalah.
Tahun depan, Bumi akan menamatkan pendidikan di Sekolah Menengah Atas. Tante Hanna sudah menabung uang sedikit demi sedikit selama bertahun-tahun untuk persiapan kuliahnya. Leopard beserta babi-babi peliharaan mereka, juga telah dipersiapkan akan dijual untuk membantu biaya kuliah Bumi.
Kehidupan Bumi selama delapan tahun terakhir cukup berat. Dari kota Metropolitan menuju ke sebuah dusun kecil, membutuhkan adaptasi yang tidak mudah. Dari keramaian menuju kesunyian, dengan membawa trauma masa lalu, sungguh merupakan sebuah hal yang sulit. Dengan penuh kesabaran, Hanna berusaha membesarkan seorang anak laki-laki yang mengalami trauma hebat dalam hidupnya di usia yang masih sangat muda. Sementara lukanya sendiri masih belum pulih setelah kehilangan suaminya. Namun keputusannya untuk mengambil tanggung jawab merawat dan membesarkan Bumi, mengharuskannya untuk kuat dan tegar demi masa depan mereka.
Di tengah himpitan ekonomi, Hanna berusaha bekerja apa saja untuk bisa menghidupi dirinya dan Bumi. Ia ingin memberikan kehidupan yang terbaik untuk Bumi, yang sudah dianggapnya sebagai anaknya sendiri. Hanna seorang wanita pekerja keras. Matahari belum muncul di ufuk timur, Hanna sudah bangun dan menyiapkan makanan untuk mereka. Setelah itu ia berangkat ke sawah untuk menggarap sawahnya. Saat hari pasar tiba, Hanna berjualan sayur mayur dan hasil-hasil kebunnya di pasar. Hanna masih memiliki seorang ibu, namun kondisinya sudah tidak kuat lagi untuk membantu Hanna bekerja di sawah dan ladang karena usianya yang sudah senja. Hanna yang menjadi tulang punggung keluarga. Beruntung mereka masih mempunyai warisan rumah, sawah dan kebun kopi yang cukup luas. Hasilnya cukup untuk makan sehari-hari. Mereka juga memelihara ternak, seperti ayam, itik, ikan, babi dan kerbau. Hanna juga selalu menyimpan uangnya sedikit demi sedikit untuk masa depan Bumi. Ia ingin Bumi mendapatkan pendidikan yang terbaik, agar bisa menggapai masa depan yang tidak bisa ia raih. Setelah Bumi beranjak remaja, ia ikut membantu tante Hanna melakukan pekerjaan berkebun dan beternak.
Di tahun-tahun awal setelah peristiwa mengerikan yang merenggut nyawa keluarganya, Bumi setiap malam bermimpi buruk. Dalam tidurnya ia berteriak-teriak ketakutan. Hanna berusaha menenangkannya, bahkan membawanya menemui dokter di Puskesmas desa itu.
“Ia butuh ditangani lebih lanjut oleh seorang psikiater,” kata dokter pada saat itu.
Hanna berpikir dengan keras. Di desa mereka tidak ada psikiater, ia harus dibawa ke kota besar. Saat itu usia Bumi baru 11 tahun.
Di saat awal kedatangan mereka ke desa, Bumi masih mengalami trauma hebat. Ia tidak mau bersekolah, dan tidak mau bergaul dengan anak-anak sebayanya. Namun Hanna tidak pernah berhenti berusaha untuk membujuknya. Hanna sampai harus duduk di kelas menemani Bumi selama sebulan penuh. Beruntung kepala sekolah dan guru-guru di sekolah memahami keadaan Bumi. Berkali-kali Bumi kabur dari rumah, untuk sekedar menangis di pinggir sungai mengenang keluarganya. Hanna hampir berputus asa menghadapinya. Ia hanya bisa terus berusaha dan berdoa memohon kekuatan dari Tuhan untuk Bumi dan dirinya agar mampu melewati masa-masa sulit ini.
“Kami akan mencoba membimbing Bumi, Bu,” kata Bu Irah, guru konseling di sekolah Bumi, yang kebetulan juga mengajar anak-anak sekolah minggu di tempat mereka bergereja.
“Terima kasih, Bu Guru. Saya tidak tahu harus bagaimana lagi,” kata Hanna sambil memandang iba Bumi yang duduk memandang ke depan dengan tatapan kosong di sampingnya.
Ia tidak memiliki cukup uang untuk membawa Bumi konsultasi ke Psikiater di kota.
“Kami akan berusaha melakukan sebaik mungkin. Saya sendiri yang akan menyempatkan waktu menemuinya di rumah setiap minggu, sepulang dari gereja,” lanjut Bu Irah.
Tahun demi tahun berganti, bimbingan dari Bu Irah cukup membuahkan hasil. Mimpi-mimpi buruk itu berangsur-angsur menghilang. Bumi juga sudah rajin pergi ke sekolah, dan berteman dengan anak-anak seusianya. Namun, akar pahit yang tertanam kuat di dasar hati Bumi, belum hilang. Ia mudah emosi. Dengan kemarahan yang meledak-ledak. Hanna berusaha menghadapinya menghadapinya tenang dan penuh kesabaran.
Kini Bumi sudah remaja, ia sudah duduk tingkat kedua di Sekolah Menengah Atas. Tahun depan ia akan lulus.
Suatu ketika Hanna dan Bumi sedang berjalan-jalan di pematang sawah,
“Nak, nanti setelah lulus, Bumi ke Makassar ya kuliah. Mudah-mudahan bisa masuk di Perguruan Tinggi Negeri” kata Hanna di suatu sore.
Bumi tertunduk. Masih terkenang kejadian delapan tahun yang lalu di Kota Daeng itu. Saat ia dan teman-teman sekolahnya disembunyikan dalam sebuah ruangan sempit dan gelap. Sambil menunggu aparat keamanan datang mengevakuasi mereka dan membawa mereka ke tempat yang aman. Namun Bumi tidak mau mengecewakan Tante Hanna, yang dengan susah payah menabung untuk biaya kuliahnya.
“Iya, Tante,” angguknya sambil tersenyum.