Bumi Pertiwi

risma silalahi
Chapter #9

Pertemuan yang Pahit

Tahun 2022


Suasana sebuah rumah sakit besar di pusat kota metropolitan terbesar di Indonesia Timur tampak ramai. Aktivitas sangat padat. Rumah sakit itu memiliki fasilitas yang lengkap, sehingga menjadi rumah sakit rujukan dari berbagai rumah sakit baik yang ada di dalam kota maupun dari daerah-daerah lain terutama dari wilayah Indonesia Timur. Lalu lalang kendaraan yang keluar masuk semakin menambah keramaian suasana di rumah sakit itu. Parkiran rumah sakit kini penuh dengan kendaraan yang berjejer rapi.

Lobi utama yang terletak di paling depan, adalah ruangan pendaftaran rawat jalan. Ruangan itu sudah dipenuhi pasien-pasien sejak pagi tadi, yang ingin berobat jalan bersama keluarga yang mengantar. Mereka duduk dengan tertib menunggu dipanggilnya nomor antrian mereka dengan sabar. Para staf administrasi yang melayani, nampak sigap dan cekatan melaksanakan tugasnya. Dengan senyum dan ramah mereka berusaha memberikan pelayanan yang terbaik.

Masih berada di bagian depan rumah sakit, terdapat sebuah gedung bertuliskan Instalasi Gawat Darurat, terpampang dengan besar dan tampak mencolok, memudahkan untuk dilihat. Di depan gedung itu tampak lalu lalang kendaraan yang menurunkan pasien-pasien yang berada dalam kondisi kegawatdaruratan.

Setelah dari ruangan pendaftaran rawat jalan, pasien-pasien akan diarahkan menuju ke ruang poliklinik sesuai dengan poliklinik yang mereka tuju. Setiap poliklinik letaknya terpisah-pisah. Salah satunya adalah ruang Poliklinik Interna, yang merupakan poliklinik yang paling ramai dikunjungi oleh pasien. Poliklinik itu terdiri dari beberapa bilik, dengan beberapa orang dokter spesialis yang menangani pasien dalam waktu yang bersamaan.

Pada salah satu bilik di poliklinik itu, terdapat sebuah papan bertuliskan sebuah nama:

“dr. Bumi Alvandy, Sp. PD-KEMD."

Di dalam ruang periksa itu, seorang dokter tengah memeriksa pasiennya. Dokter itu memiliki postur tubuh yang tinggi tegap. Wajahnya tampan dengan mata yang kecil dan sayu, kulit berwarna cerah. Usianya sudah di atas 30 tahunan, namun masih terlihat muda dan amat menarik. Dengan tampang seperti aktor Korea, Dokter itu segera menjadi perbincangan di antara rekan-rekan sejawatnya, dan para petugas rumah sakit, bahkan pasien-pasiennya.

Dokter itu tampak memeriksa pasiennya dengan sangat teliti. Kecerdasannya dalam mendiagnosa penyakit dan memberikan obat yang tepat bagi pasien-pasiennya, menjadikannya menjadi dokter favorit yang banyak dipilih oleh pasien. Tangannya sungguh tangan yang terberkati. Ditambah lagi dengan tampang yang menawan menambah nilai plus.

“Dengar-dengar, Dokter Bumi belum menikah,” bisik-bisik para karyawan yang sedang duduk makan di kantin.

“Apalagi yang dicari ya? Sepertinya ia sudah punya kekasih, yang tempo hari datang, yang rambutnya disemir berwarna merah itu,” beberapa wanita tampak sedang bergosip di kantin.

“Sudah dokter spesialis lagi, baik hati dan sangat tampan. Seandainya ...”

“Huss ...” tegur teman di sebelahnya. “Jangan mimpi di siang bolong.”

“Apa, sih? Kan jodoh tidak ada yang tau, bisa saja kan,” sahutnya cekikikan.

Dengan perjuangan keras, Bumi berhasil meraih cita-citanya. Kini ia menjadi seorang dokter. Aktivitasnya setiap hari terasa begitu melelahkan. Namun ia tidak pernah mengeluh. Ia menjalaninya dengan sepenuh hati. Dalam hatinya merupakan suatu kebahagiaan melihat nyawa yang berhasil ia selamatkan, melihat tangis bahagia keluarga mereka.

Bumi berbaring telentang di atas ranjangnya, seusai pulang bekerja. Sambil kedua matanya menengadah ke atas. Lampu telah dipadamkan, kini stiker bulan dan bintang pada langit-langit kamarnya tampak terang berkilauan.

“Itu Papa, itu Mama, yang itu Pertiwi, kini mereka telah menjadi bintang-bintang yang menerangi bumi.” Ia mengingat kembali saat masih kecil di desa. Ia suka berbaring di atas rumput sambil memperhatikan bintang-bintang. Ada tiga bintang terang yang kerap muncul pada saat langit malam cerah. Cahaya bintang-bintang itu bersinar sangat terang di tengah gelapnya langit, mengalahkan cahaya bintang-bintang lainnya. Ia selalu menganggap, bintang-bintang itu adalah Ayah, Ibu dan adik tercintanya yang sedang memantau kehidupannya di bumi.

Khayalannya terus terbang ke masa lalu. Masih ada setitik kenangan pahit dalam hatinya. Ia sudah berusaha sekuat hatinya untuk melupakan kejadian pahit itu, dan hanya mengingat semua hal-hal yang indah yang pernah dialaminya bersama keluarga terkasihnya.

Kini ia terlelap dalam kesunyian malam, sesunyi hatinya.

Bumi tinggal sendirian di sebuah rumah bergaya minimalis yang ia beli dengan penghasilannya sendiri selama beberapa tahun bekerja. Masa-masa di bangku kuliah penuh dengan tantangan dan kesulitan. Dari segi akademis, nilai-nilainya bagus. Namun biaya kuliahnya sering terhambat. Tante Hanna sudah berusaha begitu keras untuk membayar biaya kuliahnya. Namun hanya mencukupi untuk biaya kuliahnya saja. Uang makan dan tempat tinggal, serta uang untuk kebutuhan sehari-harinya, ia harus mengusahakannya sendiri. Dengan kecerdasan yang ia miliki, ia berusaha mencari uang lewat internet, atau pun bekerja paruh waktu. Syukur kepada Tuhan, semuanya bisa dilewati. Betapa bangganya Tante Hanna saat mendampinginya dalam pengukuhan dan pengambilan sumpah dokter.

Gelar spesialisnya sendiri ia dapatkan melalui beasiswa. Menyandang predikat lulusan terbaik, ia dengan segera bisa mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan pendidikannya.

Usianya kini sudah memasuki 34 tahun. Usia yang telah matang untuk menikah. Empat belas tahun lalu, saat awal masuk kuliah, ia bertemu gadis ini, Wilma. Wilma adalah putri dari dosennya. Mereka berkuliah bersama. Pertemuan keduanya dengan intensitas yang tinggi, membuat mereka semakin akrab. Sehingga menimbulkan kenyamanan saat bersama. Mereka berdua kemudian menjalin hubungan asmara. Namun, hubungan keduanya sempat renggang saat Wilma melanjutkan pendidikannya ke Australia. Mereka tidak saling komunikasi lagi, dan akhirnya hubungan itu berakhir.

Setelah menyelesaikan kuliah di Australia, Wilma kembali ke Indonesia. Melihat Bumi masih belum memiliki pendamping hidup, Wilma kembali melakukan pendekatan kepadanya. Bumi menyambutnya dan menerimanya kembali. Namun, seiring berjalannya waktu, Bumi merasa Wilma sudah berbeda, bukan seperti yang dikenalnya dulu. Wilma bersikap banyak menuntut perhatiannya, mudah emosi dan sangat cemburuan. Bumi merasa seperti kehilangan kebebasannya. Belum lagi sikap Wilma yang mungkin karena merasa memiliki segalanya lebih dari Bumi, ia kadang merendahkan Bumi. Hal ini membuat Bumi sudah merasa tidak nyaman dengan hubungannya dengan Wilma saat ini. Namun ia berserah, ke mana arus air mengalir, biarlah menuju ke sana arah hubungan mereka.

Pagi itu Bumi sudah berada di rumah sakit seperti biasanya. Ia turun dari mobilnya dan berjalan dari arah parkiran menuju lobi utama.

“Dokter Bumi, syukurlah Dokter sudah datang,” seorang perawat laki-laki berlari menjumpainya.

“Selamat pagi. Ada apa ya? Ada hal yang penting?” tanya Bumi.

“Ada pasien rujukan dari daerah yang butuh penanganan dokter segera. Pasiennya berada di ruang IGD, Dok. Kondisinya kurang baik. Bisa tolong segera dilihat.”

”Baiklah, saya ke sana sekarang”

Bumi berjalan bergegas menuju ruang IGD yang tidak jauh dari tempat parkir, diikuti oleh perawat tadi berjalan di belakangnya.

“Di sana, Dok,” tunjuk perawat itu.

Bumi melangkahkan kakinya menuju ke arah sudut ruangan, tempat pasien itu kini berbaring.

Seorang laki-laki berumur setengah baya, sedang terbaring tidak sadarkan diri. Di sampingnya berdiri seorang wanita yang sudah berusia senja.

“Bisa saya lihat berkasnya?” tanya Bumi kepada perawat itu.

“Ini, Dok. Beserta surat rujukannya.”

“Marco Polo Matteo,” ia menyebut lengkap nama pasien itu.

Lihat selengkapnya