Pagi itu sama seperti biasanya. Bumi bersiap untuk berangkat menuju rumah sakit. Namun kali ini berbeda. Langkah kakinya terasa berat untuk menuju ke sana. Ia mengendarai mobilnya dengan perlahan-lahan. Rasanya ia tidak ingin segera tiba di rumah sakit. Sepanjang perjalanan terasa begitu menyiksa. Lamunannya beberapa kali dikagetkan oleh klakson dari kendaraan di belakangnya.
Bagaimana pun ia menghindari, kini rumah sakit tepat berada di depan matanya. Ia melirik jam tangannya, masih pukul delapan pagi. Masih ada waktu sejam sebelum ia memulai prakteknya di Poliklinik. Perutnya mulai meronta, sejak kemarin malam belum terisi. Kepalanya pening. Langkahnya berjalan menuju ke arah kantin, untuk sekedar mengalas perutnya dengan secangkir kopi dan sepotong kue.
“Bumi! Sini!” Wilma, kekasihnya memanggilnya dengan senyum yang ceria. Gadis itu memang sengaja menyempatkan waktu untuk menemui kekasihnya.
“Wilma?” Bumi nampak terkejut melihat kekasihnya itu. “
Wilma berdiri dan menyambut Bumi. Tangannya menarik lengan Bumi membawanya menuju ke salah satu meja. Bumi hanya mengikuti.
“Bumi, semalam aku telpon mengapa tidak diangkat?” kata Wilma merajuk.
“Oh, maaf semalam saya cepat tidur, kecapean,” kata Bumi.
“Ya, sudahlah. Saya sengaja datang kemari, untuk bertemu kamu. Saya rindu sama kamu, Bumi!” Wilma mencoba bermanja sambil menyandarkan tubuhnya kepada Bumi.
“Mas, kopi pahit satu ya?” kata Bumi memanggil pelayan. Ia ingin meresapi kenikmatan kopi pahit itu, sepahit hatinya kini.
“Kamu minum apa, Wil?”
“Coklat panas saja.”
“Tidak masuk kerja, Wil?” tanya Bumi.
“Hari ini saya off sehari. Kamu sibuk hari ini, ya? Apa bisa menyempatkan waktu ketemu mama dan papa di rumah, mereka selalu bertanya tentang kamu. Tentang kejelasan hubungan kita.”
Bumi terdiam. Ia tidak menjawab. Bukan saatnya ia memikirkan hal itu. Pikirannya hanya dipenuhi oleh pertemuan dengan pria itu. Bumi tidak pernah menceritakan masa lalunya kepada kekasihnya itu. Ia menyimpan rahasia itu dalam-dalam. Hanya Tante Hanna beserta keluarga dan orang-orang terdekatnya di desa yang tahu. Di kota ini, tidak seorang pun ia pernah menceritakan masa lalunya. Saat ini, ia bahkan tidak ingin Wilma mengetahui apapun.
Saat mengangkat cangkir kopinya hendak meneguk, tiba-tiba pandangannya tertuju pada seorang gadis yang duduk seorang diri di pojok. Gadis itu begitu menarik. Rambut hitamnya tergerai panjang, dan mempunyai poni. Matanya sangat indah. Kulitnya putih bersih, tanpa noda. Gadis cantik itu menunduk saat beradu pandang dengannya. Jantung Bumi bergetar, ia belum pernah merasakan hal ini. Mata indah itu, seperti mengingatkannya pada seseorang. Bumi ingin mendekatinya, namun ia menyadari kehadiran Wilma di sampingnya. Ia mengurungkan niatnya, dan hanya menatap gadis itu dari jauh.
“Bumi, kok melamun? Apa kamu dengar apa yang saya katakan?” kata Wilma dengan nada kesal.
“Mama dan papa sudah bertanya terus, bagaimana hubungan kita. Sudah bertahun-tahun, Bumi. Masih begini-begini saja. Apa yang harus saya katakan kepada mereka? Tolong Bumi, kasih saya kepastian.” Kali ini Wilma mulai menaikkan nada bicaranya.
“Oh ... ehh ... iya nanti saja kita bahas, kepalaku rasanya pening” kata Bumi asal-asalan sambil terus memperhatikan wanita muda di pojok tadi.
Wilma nampak cemberut. Ia mengikuti arah pandangan Bumi. “Seorang gadis? Siapa dia?“
Tiba-tiba, “Brak..!! Cukup, Bumi!” wajah Wilma memerah sambil memukul meja.
Sontak semua pandangan tertuju kepada mereka.
“Saya sudah cukup bersabar selama ini dengan sikap kamu. Kapan kamu peduli pada hubungan kita? Apa hanya saya yang harus berjuang untuk terus mempertahankan hubungan ini?” kata Wilma meluap-luap.
“Atau kamu sudah tidak mencintai saya lagi? Dan, gadis itu,” kini Wilma menunjuk ke arah gadis di pojok itu. “Siapa gadis itu, hah?? Kamu pikir saya tidak melihat kamu terus memperhatikannya?” teriak Wilma.
Wajah Bumi kini menegang. Ia tidak bisa menerima perlakuan Wilma. Ia berusaha menahan amarahnya yang hampir meledak. Ini sifat Wilma yang paling tidak ia sukai, selalu menuntut. Bahkan tidak segan-segan mengajak bertengkar dan mempermalukannya di depan umum. Ia lalu menarik lengan Wilma keluar dari tempat itu.
“Tolong, Wilma! Jangan buat keributan di sini. Nanti saja di rumah kita bicara. Pergilah!”
Wilma berlalu dengan cepat tanpa mengucapkan apa pun. Hanya amarah terlihat jelas di wajahnya.
Bumi kembali masuk ke dalam kantin. Kepalanya semakin terasa pusing. Ia segera mengingat gadis tadi. Matanya menerawang mencari sosok gadis itu. Tapi tidak ditemukannya. Gadis itu sudah tidak berada di sana. Bumi merasa sangat kesal kini.
Hotel itu merupakan hotel berbintang yang terletak tepat di tepi pantai. Grace berada di teras kamar yang dengan pemandangan indah langsung ke arah laut. Di kejauhan, tampak sebuah kapal penumpang besar berjalan lambat seakan ingin berlabuh di pelabuhan kota itu.
Sudah dua hari ia berada di kota ini. Kemarin ia merasa kurang sehat karena lelah dan beristirahat penuh di hotel. Walaupun ia berencana untuk tetap pergi ke rumah sakit, namun neneknya melarangnya dan menyuruhnya untuk beristirahat. Baru tadi pagi ia ke rumah sakit menemui ayahnya. Ia merasa senang kondisi ayahnya sudah lebih baik.
Matanya menerawang ke arah laut, namun pikirannya mengembara menuju ke suatu peristiwa yang dialaminya tadi pagi. Ada sesuatu yang mengganjal di hatinya. “Pria itu. Pria dengan pakaian dokter. Ia pasti seorang dokter yang bertugas di rumah sakit itu. Tapi, ada apa dengan tatapannya? Mengapa hanya dengan sebuah tatapan, hatinya bergejolak kini. Siapa dia?” Tak terasa senyumnya mengembang. “Saya sangat ingin bertemu dengannya lagi.”
Tiga hari kemudian, pada waktu yang sama, Bumi kembali duduk di kantin rumah sakit. Dia telah menyerahkan kepada asistennya, dokter Rico, untuk mewakilinya melakukan visit kepada Pak Marco. Bumi belum sanggup bertemu langsung dengannya. Ia hanya memberikan instruksi melalui dokter Rico.
Bumi memesan kopi pahit seperti waktu itu. Kali ini dengan dua buah kue jalangkote’. Hatinya masih berkecamuk.
“Marco Polo Matteo, jadi itu namanya?” Masih seperti mimpi rasanya bisa bertemu kembali dengan pria itu. Ingin rasanya ia melabrak pria itu dan menghajarnya habis-habisan, hal yang pernah coba ia lakukan di masa lalu dalam ketidakberdayaannya. Namun hanya meninggalkan bekas cakaran kukunya tepat pada tato orang itu. Tidak, ia tidak bisa melupakan pria itu, apalagi memaafkannya. Pria itu telah menghancurkan keluarganya, dunianya. Memberinya kehidupan yang berbeda kini.
Dokter Rico segera bergabung bersamanya untuk minum kopi di kantin.
“Dokter Rico, bagaimana kondisi pasien saya?” tanya Bumi mencoba mencari tahu keadaan Pak Marco.
“Sudah lebih baik, Dok. Pengobatan yang dokter terapkan tampaknya cocok, dan gula darahnya sudah mulai stabil. Tidak ada komplikasi yang serius. Beberapa hari lagi, kalau Dokter mengizinkan, ia sudah bisa pulang dan melakukan rawat jalan saja,” kata Dokter Rico.
“Oh, iya terima kasih, Dokter Rico.”
“Kapan Dokter Bumi bisa menemui Pak Marco? Beliau mencari anda, Dokter," kata Dokter Rico.
Dahi Bumi berkerut, “Mencari saya??”