“Jadi, Grace adalah putri Pak Marco, sosok yang telah menghancurkan keluargaku, memporak porandakan duniaku.”
Kalimat itu terus menerus tengingang-ngiang di telinga Bumi seakan tidak mau pergi dari pikirannya. Namun, mengapa ia masih terus mengingat gadis itu? Mengapa ia tidak bisa menghilangkan wajah manis itu dari kepalanya?
Beberapa pekan kemudian
“Masih ada berapa pasien lagi, Ners?” tanya Bumi kepada perawat yang membantunya di Poliklinik.
“Tinggal satu orang, Dok.”
Bumi melirik jam di dinding. Tepat jam satu siang. Ia sudah akan mengakhiri jam prakteknya dan beristirahat makan siang.
“Atas nama Marco Polo Matteo,” lanjut Perawat itu.
Deggg ... dalam sekejap hatinya kembali riuh. Tak terasa sudah beberapa minggu berlalu. Ia hampir melupakan bahwa hari ini adalah jadwal kontrol Pak Marco.
Dadanya terasa sesak kembali, seakan ingin meledak. Keringat mulai mengucur deras. Ia tidak sanggup bertemu pria itu lagi.
Belum lagi ia menenangkan dirinya, “Bapak Marco Polo Matteo!” teriak perawat di luar pintu memanggil pasien terakhir.
“Silahkan masuk, Pak.”
“Terima kasih, Suster. Ayo, Pi,” suara seorang wanita muda terdengar sejuk di telinga.
Ia tampak menggandeng ayahnya memasuki ruangan periksa. Pak Marco sudah tampak lebih segar dan sehat. Wajahnya menunjukkan ketampanan khas pria Indonesia Timur.
Bumi hanya diam menatap.
“Dok ...” bisikan perawat mengagetkannya.
Bumi lalu duduk di kursinya, berhadapan langsung dengan pria yang paling dihindarinya, sekaligus gadis yang paling dirindukannya. Ia mengambil nafas panjang sejenak.
“Dokter Bumi?” Gadis itu tampak terkejut melihatnya.