Dalam guyuran air yang mengalir, tubuh kekar itu seakan tak bertulang. Lunglai. Bumi terduduk di lantai kamar mandi sambil merasakan hantaman air yang menusuk-nusuk tubuhnya, yang bercampur peluh dan air mata. Lukanya kini menganga kembali. Ia merasa hancur. Hati yang sudah tertata dengan baik, kembali retak akibat luka lama yang menginfeksi.
Setelah selesai mandi, ia berbaring telentang di tempat tidurnya. Matanya menerawang ke langit-langit kamar, namun pikirannya terbang kembali menembus waktu, tepat pada saat kejadian itu. Ia teringat kembali saat jeritan itu berhenti.
Dengan langkah yang gemetar, ia mencoba mengintip dari balik pintu. Matanya menangkap asap hitam mengepul bercampur merah kehitaman. Asap yang membuatnya terbatuk dan dadanya sesak. Percikan api menyambar bagaikan kilat melahap semua yang ada di sekitar. Memaksanya melangkahkan kaki untuk segera turun menyelamatkan diri sambil melihat apa yang telah menimpa keluarganya. Dan saat itu, saat menuruni anak tangga terakhir, tepat dihadapannya, ibu tercintanya dalam kondisi yang menggenaskan, telah pergi untuk selama-lamanya. Dan pembunuh itu berada di sana, menatap ke arahnya.
Bumi gelisah, kini ia bangkit dan duduk.
Esok adalah hari yang penting. Ia akan kembali bertemu dengan pria itu. Bagaimana kalau ia tidak bisa menahan emosinya lagi? Bapak itu sudah mulai memasuki usia paruh baya, apakah tidak semestinya ia memperlakukannya dengan lebih baik? Terlepas dari semua yang pernah dilakukannya.
Tidak, ia adalah seorang pembunuh dan pemerkosa. Ia harus mendapatkan ganjaran atas perbuatannya. Tetapi, sepertinya hidupnya selama ini bahagia, bahkan memiliki seorang putri yang cantik. Sedangkan hidupku? Hidupku begitu pahit.