Hari itu hari Sabtu. Suasana lobi hotel mulai nampak ramai. Tamu-tamu hotel mulai berdatangan, ada yang melakukan check in, ada juga yang melakukan check out. Tampak sekelompok pria asing berjalan hendak menuju tempat sarapan pagi.
Jam menunjukkan pukul sepuluh pagi. Bumi telah duduk di sofa sambil menyilangkan kakinya. Mereka membuat janji bertemu di lobi hotel hari ini.
Jari-jari Bumi sibuk mengotak-atik handphonenya. Ia mengirim pesan instruksi-instruksi kepada asisten dan perawat di rumah sakit. Hari ini dia tidak bekerja, ia ingin fokus kepada masalah besar ini. Hatinya siap menghadapi apapun yang akan terjadi.
Beberapa menit kemudian,
“Selamat Pagi,” sapa Grace dengan senyum. Hatinya mulai melunak. Ia telah siap mendengar dari kedua belah pihak kejadian apa yang terjadi sebenarnya. Masalah ayahnya, adalah masalahnya juga.
“Ah, senyum itu lagi.” Senyuman Grace sejenak membuat hati Bumi luluh.
“Maaf kami terlambat, Ayah saya mengalami masalah dengan perut tadi pagi, mungkin sedikit stress,” kata Grace melirik ayahnya.
“Baiklah. Maaf jika saya yang mengambil alih di sini.” Grace memulai percakapan. Matanya memandang kepada Bumi.
“Dokter Bumi, katakan apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa Anda begitu marah kepada Ayah saya?”
“Tolong katakan yang sejujurnya, saya siap mendengar apapun itu.” Grace menenangkan perasaannya.
“Maaf, Grace. Tapi, ayahmu adalah seorang pembunuh, perampok, pemerkosa, dia sangat jahat!” tanpa berbasa basi lagi Bumi berkata sambil meninggikan suara.
Grace tersentak. “Apa?? Apa saya tidak salah dengar? Itu tidak mungkin.”
Marco yang sedari tadi diam, tiba-tiba mengangkat wajahnya. Tampak jelas perubahan pada wajahnya.
“Keluarga saya adalah korbannya.” Kini Bumi tidak dapat lagi menahan emosinya.
“Mereka semua hangus terbakar di dalam rumah kami di Jakarta, dua puluh empat tahun yang lalu. Pak Marco salah satu dari mereka. Yang membunuh keluarga saya. Saya melihatnya sendiri, Ibu saya ...” Bumi terisak.
“Ibu saya meregang nyawa di tangan ayahmu. Bukan hanya nyawa, tapi juga kehormatannya.”
“Papi??” Grace menatap tajam kepada ayahnya. Wajahnya pucat pasi.
“Katakan dia bohong, Papi.”
“Grace, bukan ...” Marco tidak dapat melanjutkan kalimatnya. Ia tampak kebingungan.
“Apa salah kami? Mengapa Bapak begitu kejam kepada keluarga kami?” Bumi semakin terisak.
Grace berdiri. Dadanya seperti mau meledak. Seketika tangisnya pecah tak tertahankan. Ia berteriak histeris.
“Grace ... tenang sayang.” Ayahnya terlihat begitu khawatir. Ia mencoba meraih putrinya yang kini duduk bersimpuh di lantai.
“Jangan sentuh aku, Pi. Jangan sentuh...!” ucapnya dengan air mata yang terus mengalir.
Grace bangkit dan berlari menuju kamarnya.
“Grace!!” teriak ayahnya memanggil. Gadis itu sudah tak terlihat. Ayahnya ragu apakah akan mengejarnya. Akhirnya ia mengurungkan niatnya. Ia tahu hati putrinya terluka. Dan ia butuh sendiri.
Kini hanya ada Bumi dan Marco.
Marco melihat kepada Bumi yang nampak tertunduk tanpa berhenti menangis. Ia mendekati Bumi.
“Dokter, saya minta maaf. Saya bisa memahami apa yang Dokter rasakan. Tapi tidak seperti itu kejadiannya.”
“Apa maksud Bapak?” Bumi mengangkat wajahnya kaget.
“Saya melihatnya, Pak. Dengan mata saya sendiri.”
“Apakah Anda melihat saya membunuh ibumu? Me”er*ko*a ibumu?” kini suara Marco menegas. “Atau apakah Anda melihat saya menyulut api membakar rumah kalian?”
Bumi terdiam. Pikirannya mulai terbawa ke masa lalu. Pria itu, berdiri di situ. Ia berdiri di hadapan ibunya. Tapi, apa yang sedang dilakukannya di situ, kalau bukan ia pelakunya. Ia memang tidak melihat kejadian sebelumnya. Bumi mulai berpikir keras.
Marco mengeluarkan sesuatu dari balik jaketnya. Sebuah foto berbingkai.
“Lihat foto ini!” ia menunjukkannya kepada Bumi.
“Mama ...?”
“Mengapa foto ibu saya ada pada Bapak?” Bumi tercengang.
Marco menatap lama foto itu. Matanya memerah, menahan air mata. Ia menghela nafasnya.
“Saya mencintai ibumu. Dia wanita tercantik yang pernah saya lihat. Bahkan, hanya dia satu-satunya wanita di hati saya,” air matanya kini mengalir.
“Saya memang salah, seharusnya saya tidak boleh memiliki perasaan itu. Tapi, saya tidak bisa menahannya. Hati saya bahagia saat menatap dirinya, berdiri di tepi jendela itu,” ujarnya sambil mengenang.
“Saya hanya bisa memperhatikannya dari jauh saja, saya bahkan tidak berani mendekatinya. Saya bersembunyi jika dia menoleh pada saya. Saya memang tidak pantas untuknya. Dia bukan milik saya. Saya hanya bisa memendam perasaan ini.” Marco terhenti sejenak.
“Foto ini, saya ambil dari kamarnya. Bukan mengambilnya, tetapi saya mencurinya. Saya hanya ingin selalu bisa memandang wajah cantiknya, walau hanya dalam sebuah foto.”
Wajah Bumi yang sejak tadi tegang, seketika berubah menjadi sedikit lembut. Ia melihat adanya kesungguhan dari kata-kata itu.
“Saya tidak akan pernah menyakiti ibumu. Saya mencintainya. Hanya dia satu-satunya wanita dalam hati saya, yang tidak pernah bisa saya miliki,” lanjutnya lagi,
“Jadi ... ibu saya, keluarga saya, siapa yang melakukannya Pak? Dan mengapa Bapak ada di tempat itu?” tanya Bumi penasaran.
“Bicaralah, Pak. Saya mendengarkan,” kata Bumi siap.
“Baiklah, Nak. Saya akan menceritakannya semuanya secara utuh.”
Di sebuah pulau kecil di tengah hamparan lautan luas
Tahun 1996
Marco Polo Matteo nama pria itu. Ia berasal dari sebuah pulau kecil di wilayah Timur Indonesia. Di desanya, Marco hanya seorang pemabuk dan penjudi sabung ayam. Ia korban pergaulan yang salah. Masa mudanya disia-siakannya begitu saja.
“Kamu benar-benar tidak berguna!” teriak ayahnya. “Kamu itu sudah dewasa, sudah 30 tahun. Sudah seharusnya menikah, berkeluarga, bertanggung jawab. Tapi, apa ini? Hanya ayam saja yang dielus-elus setiap hari,” kata ayahnya geram.
“Sudahlah, Pa.” Ibunya menenangkan ayahnya. “Jangan terlalu keras kepada Marco. Ia juga sudah berusaha mencari pekerjaan ke sana kemari. Tapi belum rezekinya,” Ibunya membela.
“Papa juga kan yang tidak mau memberinya kesempatan di perusahaan kita.”
Marco hanya diam.
“Bagaimana mungkin, Ma. Dia tidak punya kompetensi. Kuliah saja ia tidak mau. Anak ini tidak pernah mau mendengarkan kita, orang tuanya.”
Marco dididik sangat keras oleh ayahnya, berbanding terbalik dengan ibunya yang sangat memanjakannya.
“Saya mau pergi merantau, Pa,” kata Marco di suatu hari. “Mau ikut Om Zion ke Jakarta, siapa tahu bisa berhasil di sana.” Dalam hatinya ia hanya ingin pergi jauh dari rumahnya. Ia tidak tahan menghadapi omelan dari ayahnya setiap hari.
“Ya, sebaiknya begitu,” kata ayahnya dengan nada tegas. “Dari pada kami setiap hari pusing melihatmu di sini, menghabiskan uang minum-minum dan berjudi sabung ayam, membuat malu keluarga saja," timpal ayahnya.
Demikian akhirnya, Marco berangkat dari tempat kelahirannya menuju ibukota negara, Jakarta untuk mengadu nasib. Di sana ia tinggal bersama Om Zion, adik dari ibunya. Om Zion sudah berkeluarga, memiliki seorang istri dan seorang anak. Rumah mereka cukup besar, berlantai dua. Namun posisinya berada di dalam gang sempit di belakang deretan kompleks pertokoan.
Kini, sudah dua tahun berlalu, Marco masih belum mendapatkan pekerjaan tetap. Ia hanya sesekali membantu pamannya di proyeknya. Om Zion adalah seorang kontraktor yang memiliki CV nya sendiri, yang bergerak di bidang jasa kontraktor.