Seluruh tubuhnya terasa sakit, namun tidak melebihi sakit pada batinnya. Kejutan demi kejutan memporakporandakan hatinya. Mengangkat kembali luka yang terkubur jauh di dalam hatinya. Namun, ia bersyukur kini semuanya telah menjadi jelas. Betapa ia menyesali telah membentengi dirinya dengan amarah dan kebencian selama bertahun-tahun.
Ia menatap kalung milik ibunya yang kini dalam genggamannya. Kembali terbayang wajah ibu tercintanya. Wajah yang selalu memberi kedamaian dalam hatinya. Senyumnya ibunya mampu menyejukkan hati siapa saja yang memandangnya. Senyum itu kini masih bisa ia nikmati pada senyum Pertiwi, adiknya.
Seketika wajah manis adiknya itu terbayang di kepalanya, mata teduh dengan senyum bagaikan magnet menarik hatinya. Bagaimana mungkin ia tidak menyadarinya. Senyum itu persis senyum ibunya. Mata itu sama dengan mata ibunya. Dari sejak pertama berjumpa, ia telah memiliki perasaan yang kuat kepada gadis itu. Tentu saja, karena mereka memiliki darah yang sama. Darah yang mengalir dalam tubuhnya, juga dimiliki gadis itu. Ikatan darah itu begitu kuat.
Kini ia tidak hanya akan memikirkan dirinya sendiri, ia memiliki seorang adik yang membutuhkannya. “Saya akan melindunginya. Saya akan membuatnya bahagia. Saya akan menggantikan hari-hari yang ia jalani tanpa kehadiran seorang kakak. Saya akan membuat hari-harinya berwarna,” janjinya dalam hatinya.
Dengan adanya semua kejadian ini, dengan begitu banyak hal yang membebani pikirannya saat ini, membuatnya seakan lupa memanjatkan puji syukur kepada Tuhan. Tuhan yang mengizinkan semuanya terjadi, Tuhan pula lah yang merangkainya kembali menjadi karya yang lebih indah.
Mujizat terjadi. Anugrah yang sangat besar baginya. Pertemuannya dengan adik terkasih. Masih hidup, bernafas dan tersenyum ke arahnya. Rasa sayang kini menghinggapi seluruh jiwa raganya, ingin dia berlari memeluk adik tersayangnya. Namun untuk saat ini, ia belum berani melakukannya. Ia tahu hati Grace sedang terluka dan bimbang, sebagaimana hatinya saat ini.
Ia melirik ke arah samping ranjangnya, mengambil gitar yang tergeletak di meja. Jari jemarinya satu per satu memetik senarnya, ia mulai bernyanyi memuji Tuhan.
“Amazing Grace – Hymn by John Newton (1725 – 1807)”
Amazing grace!
How sweet the sound
That saved a wretch like me!
I once was lost,