Awan masih mengguratkan fajar yang baru akan menyingsing beberapa menit lagi. Kuraih jaketku agar dinginnya pagi tak bisa menembus kulit yang begitu tipis ini. Kupandagi microchipku sampai aku tersadar kalau hari masih buta untuk pergi joging sendirian. Namun banyak hal yang harus kusiapkan untuk menghadapi tes lisensi 17. Oleh karena itu, aku berusaha menguatkan tekadku meskipun ada sedikit cemas di dada karena aku harus pergi joging sendirian di saat kabut masih menyelimuti jalan.
Suasana rumah masih gelap. Aku melihat Robota –robot asisten rumah tangga –rupanya sudah beranjak dari tabung isi dayanya. Robot itu memiliki sensor yang mendeteksi rumah yang berantakan dan akan segera membereskannya. Aku lupa melipat selimut, sehingga otomatis Robota langsung meluncur masuk dalam kamarku.
Kulirik satu pintu kamar, rupanya masih sepi. Terlihat lampu yang temaram dari bawah lubang pintu yang menandakan kalau ayah dan bunda sepertinya masih terlelap tidur.
Aku menghela napas panjang, rasanya untuk menuju ke pintu depan yang hanya beberapa langkah saja terasa lama. Pintu yang sedang kutuju itu berukuran 2x4 meter terbuat dari kayu jati namun sudah dilengkapi fitur pintar yang mampu mendeteksi maling atau orang yang tak dikenal masuk ke dalam rumah.
Kini aku berhadapan dengan pintu itu. Aku berharap kali ini bisa membuka pintu itu dengan kekuatan tanganku. Hari ini usiaku tujuh belas tahun, sehingga seharusnya aku memiliki akses untuk membuka pintu sendiri.
Tangan kananku menggenggam erat gagang pintu. Ada cahaya keluar dari gagang itu berusaha memindai sidik jariku. Rupanya pintu ini menolak untuk terbuka sehingga membuatku mengerahkan seluruh tenagaku.
“Sedang apa kamu, Sasti?”
Keberadaan ayah di belakangku membuatku terkejut dan hampir saja jantungku copot. Ayah langsung menepuk tangannya tiga kali, lampu di seluruh ruangan langsung menyala terang menyorot wajahku yang bagai maling.
“Aku hanya mau pergi joging, Yah,” kataku sambil berusaha memperlihatkan wajah polos.
“Sepagi ini?” ujar Ayah yang tak melihat cahaya matahari di jendela rumahnya.
“Sebentar lagi juga matahari akan muncul,” cetusku yang masih berharap kalau ayah memberikan akses untuk membuka pintu.
“Apa kamu tidak takut Rebel?” kata ayah yang membuatku tersenyum kecut.
Ternyata ayah sangat percaya dengan keberadaan Rebel, monster pemakan manusia. Dongeng mimpi buruk yang wajib diketahui seluruh warga di Megacity 28.