Elegi Mantik (Di balik benteng Megacity 28)

Tian Setiawati Topandi
Chapter #2

Monster Rebel

Dingin yang beku, matahari yang belum menampakkan wajahnya, kabut yang menyeruak, menyesakkan dada, membuatku larut dalam ketakutan. Kucoba membetot seluruh kekuatan untuk menghentikan genderang yang bertabuh di dada. Aku tentu saja tak ingin mengacaukan data yang akan terekam di microchip otak kiriku. Sedikit saja jantung berdegub tak sesuai ritme, maka sinyal microchip akan mengirimkan sinyal tubuh yang tidak normal ke sebuah Kompi, layar pintar. Bagaikan pengunjung yang tak memiliki tiket masuk ke wahana, aku tidak akan diberikan sebuah akses untuk mengerjakan tes lisensi 17.

Cukup lama aku tertegun, kakiku seolah tertanam di dalam lapisan bumi. Aku berusaha menggerakan tubuhku mencari tempat perlindungan. Kulihat ada celah antara rumah di dekat tempatku berdiri. Tanpa pikir panjang, aku langsung berdiri di situ. Jantungku berdetak sangat kencang, lututku lemas, aku takut.

Sayangnya, rasa penasaran membuatku ingin mengintip adegan yang menyeramkan itu. Bukan hanya ada satu sosok yang berjubah hitam tetapi ada tiga sosok yang aku tak tahu apakah dia manusia atau monster. Satu orang membekap mulut kakek itu sehingga membuatnya tak sadarkan diri. Dua orang lainnya berusaha mencongkel microchip lengan kanan kakek itu sehingga darah mulai bercucuran.

Aku ngeri melihat darah yang begitu banyak. Aku membaringkan tubuhku ke tembok. Aku sudah tak kuasa melihat adegan itu kembali. Tiba-tiba terdengar suara desingan peluru.

Tentu saja, suara itu mengejutkanku. Rasanya aku hampir mati mendengar rentetan suara tembakan. Aku seperti menyaksikan film aksi. Aku mencoba menutup telingaku. Aku ingin menghubungi ayah, tetapi aku rasa kalau aku melakukannya, itu justru akan membuat ayah dalam bahaya. Jadi aku urungkan niatku untuk menghubungi ayah. Kini aku hanya berada di titik pasrah.

Di balik tembok, dengan tubuh yang bergetar hebat, rasa takut bercampur bingung menguasai hati dan pikiranku. Aku memandang jauh adegan tembak-tembakan itu. Aku bingung antara lari namun bisa saja tertangkap atau membiarkan tubuh ini bersembunyi di balik tembok. Pada akhirnya, aku lebih memilih bersembunyi.

Kututup telingaku. Aku tak ingin suara tembakan meruntuhkan sisa keberanian. Mulutku semakin kencang berkomat-kamit melafalkan doa dan zikir. Sesekali kepalaku keluar dari persembunyian berusaha melihat keadaan yang sebenarnya terjadi. Aku seperti berada dalam film action ketika para Avengers mengusir kawanan Thanos.

Tiga makhluk yang memakai jubah hitam itu tetap melawan tembakan Arme. Namun senjata mereka kalah canggih sehingga mereka terpaksa mundur. Satu orang Rebel lari tunggang langgang, namun timah panas tepat menghujam di kaki kirinya. Dua Rebel lainnya melindungi Rebel yang tertembak itu, hingga dengan kaki pincangnya dia hilang ditelan kabut.

Suara rentetan senjata memekikkan pagi yang sepi, membuat suasana semakin mencekam. Pintu dan jendela di setiap rumah otomatis terkunci. Warga mungkin penasaran dengan apa yang terjadi, tetapi meraka terkurung di dalam rumahnya. Aku pun tak bisa sembarang masuk ke dalam rumah orang lain meskipun dalam keadaan genting seperti ini.

Aku menoleh kembali memperhatikan lokasi baku tembak. Aku melihat seorang Rebel tertelungkup dengan darah berceceran. Rebel itu berhasil dilumpuhkan Arme.

Satu orang yang masih mempertahankan diri dengan membalas tembakan Arme rupanya menyadari keberadaanku yang berada di seberang jalan. Aku terhentak! Dengan langkah beraninya, Rebel itu berjalan mendekat ke arahku.  Aku kini berada di titik pasrah. Mungkin ini akhir kisah dari seorang gadis yang hari ini tak mau kehilangan kesempatan untuk ikut tes lisensi 17 namun hidupnya mesti berakhir sekarang.

Untungnya, sebuah peluru berhasil mengenai perut Rebel itu. Tanpa gentar, dia masih berusaha berjalan menuju tempat persembunyianku sambil menekan luka tembaknya. Jantungku berdetak semakin tak karuan, aku hanya berdiri tegang tak bisa apa-apa, lututku betul-betul lemas.

Di titik pasrah ini, selongsong peluru akhirnya mengenai paha kaki kirinya. Tubuh orang berjubah itu jatuh menghujam tanah tepat satu meter di depanku. Aku hanya berdiri melototinya sembari takut. Dengan tubuh yang dibanjiri darah, tangan orang itu berusaha membuka maskernya.

Aku yang tadinya berpikir kalau dia ialah Rebel dikagetkan dengan penampakannya. Bukan wajah monster yang aku lihat, tak ubahnya seperti diriku, dia manusia. Mungkin dia bukan Rebel, pikirku.

 Tangannya kembali mengambil sesuatu dari kantongnya. Mataku terbelalak tak bisa menahan kegetiran apa yang akan menimpaku. Tangannya berhasil meraih sesuatu dan melemparkannya ke arahku. Sebuah granat! Aku menutup mataku.

Lihat selengkapnya