Aku sekarang sudah berada di rumah. Seperti biasa, aku hanya ditemani secangkir cokelat hangat. Ayah dan bunda sedang bersiap pergi bekerja. Aku masih sedikit shock atas kejadian tadi. Namun, aku berusaha tenang karena sebentar lagi aku harus mengerjakan tes lisensi 17.
“Turn on TV!”
Televisi pintar itu langsung menyala dan terhubung ke channel berita.
“Bagaimana bisa tembok pertahanan kita yang dibangun menjulang tinggi dengan dialiri tegangan listrik yang teramat besar, masih saja bisa ditembus oleh monster Rebel?” ujar Cattie Sawyer, pembaca berita fenomenal.
“Kami sudah berusaha maksimal menjaga benteng pertahanan agar tak mudah ditembus. Mungkin kekuatan monster ini terlalu kuat sehingga bisa menembus benteng pertahanan kita,” ujar Tuan Arnold, yang wajahnya aku temui tadi pagi.
Monster? Sampai detik ini, aku begitu yakin kalau tiga orang berjubah hitam itu bukan monster. Akan tetapi, seharusnya Tuan Arnold lebih tahu tentang itu. Namun, mengapa Tuan Arnold tetap menggemborkan orang tadi itu sebagai monster?
“Tuan John ini ialah korban monster Rebel yang berhasil diselamatkan oleh para Arme. Tuan John, bisa diceritakan kembali, bagaimana monster Rebel ini menyerang Anda pagi ini?”
“Tadi pagi saya hanya berniat untuk joging, tetapi Rebel itu berani menyihir saya dan meminum darah saya,” ucap Tuan John yang terlihat yakin dengan kisahnya tadi pagi.
Tidak! Jiwaku kini berontak memaki sebuah berita yang justru melahirkan teror bagi warga Megacity. Ada nurani yang bergejolak, ada sebuah rasa yang timbul mendengar sebuah fakta yang terlalu menyimpang. Bukan sihir yang mereka pakai untuk melumpuhkan seorang Pak Tua itu. Kakek itu hanya menghirup obat bius dari kain yang digenggam oleh pria berjubah hitam. Kalau mereka memang memiliki sihir, kenapa mereka tak sihir saja para robot Arme yang menginjak mereka seperti semut?
Satu hal lagi, darah itu mengucur dari tangan Pak Tua bukan untuk diminumnya, tetapi mereka hanya mengincar microchip Pak Tua. Ah apalah arti ungkapan hati ini, aku tak berdaya dan tak berarti. Ingin rasanya aku berteriak pada dunia jika Rebel bukan monster. Akan tetapi di dunia ini berita akan dianggap hoax kalau tanpa bukti.
Mataku justru kini terpaku pada sebuah tayangan yang memperlihatkan sebuah rekaman ketika salah satu Rebel sedang tertelungkup dan terkapar. Sayangnya, wajah Rebel tak begitu tersorot kamera. Tayangan ini justru bisa melahirkan persepsi yang tak semestinya, yang akan melahirkan teror ganas di pikiran para warga Megacity.
“Turn off TV!” teriak Ayah yang muncul tiba-tiba di belakangku mematikan segala tanya yang terlontar di televisi.
Kesal. Wajahku mulai menekuk melemparkan sebuah kekesalan pada Ayah karena telah menghentikan sebuah tanya besar mengenai Rebel.
“Ayo, bersiap! Sebentar lagi bukannya mau menghadapi tes lisensi 17?” ucap Ayah sembari melempar sebuah senyuman.
Tangan ini meraih roti bakar, meluapkan emosi, dengan menggigitnya kencang, melumatnya dengan beberapa kunyahan. Aku tak ingin kembali membangkang ucapan Ayah sambil pikiran ini melayang jauh ke sebuah kantong kecil hitam yang tadi dilemparkan oleh Rebel.
Rasa penasaranku ini harus kukubur sementara waktu. Aku tak ingin membuat Ayah atau pun Bunda curiga, terutama ayah. Ayah itu anti-Rebel. Baginya Rebel ialah pemberontak yang menolak ditanam microchip yang berubah menjadi monster.
Sebuah klakson mobil terdengar ke dalam rumah. Ayah tergesa-gesa berangkat kerja. Ayah mencium dahiku kemudian meninggalkanku dengan roti bakar yang tinggal sepotong. Robota membukakan pintu. Ayah terhuyung masuk ke mobil tanpa kemudi.
“Sasti sayang, apakah kamu baik-baik saja? Perlukah Bunda izin tak masuk kerja?” ucap Bunda yang masih khawatir.
“Look, I am great, Bun! Don’t worry!” ucapku sambil menunjukkan wajah terbaikku hari ini.
Bunda kemudian berjalan keluar dan kembali meninggalkanku dalam sepi. Robota kemudian dengan cekatan mengambil piring kosong itu dan mencucinya.
Aku masih menggenggam sebuah minuman cokelat sambil tersenyum ketir ke arah manusia berbadan besi. Aku pikir robot itu tak ada bedanya diriku, sama-sama hidup di bawah aturan sistem. Aku tentunya harus berbeda dari robot itu walaupun jiwaku tak bebas melangkah, ada aturan dan ada hukuman.
Nurani, mungkin ini yang membedakanku dengan robot. Setidaknya aku lebih unggul dari para robot yang berseliweran di wilayah ini. Aku masih memiliki hati dan perasaan. Itu sebabnya, berita tadi justru mencubit keras nuraniku yang bergejolak tak setuju kalau Rebel itu disebut dengan monster.
Aku menelan beberapa pil vitamin sambil teringat pada kantong kecil hitam ini. Aku segera beranjak dari dudukku menuju tempat pertapaan. Kututup rapat pintunya, agar Robota tak harus merekam segala tindak tandukku.
Kuraih kantong kecil hitam itu kemudian mengenggamnya erat. Aku meraba-raba isinya, kecil, berat, dan keras. Jiwa penasaranku ini ingin segera membukanya, tetapi aku sadar betul dengan sifat keingintahuanku.
Kupandangi microchipku. Ah, waktuku tak terlalu banyak untuk menggali lebih jauh benda di balik kantong kecil hitam ini. Egoku harus kupendam erat. Aku tak ingin kehilangan waktu untuk mengerjakan tes lisesnsi 17.
Selama ini, waktu demi waktu bergulir. Akan tetapi dari sekian hari, hanya hari ini yang kutunggu. Aku pikir aku bisa membuka kantong kecil hitam kapan saja, tetapi mengerjakan tes lisensi 17 hanya tersedia hari ini. Kalau aku gagal mengerjakan tes lisensi 17, maka aku harus bersabar sampai tahun depan. Aku sudah bosan terkurung di rumah ini. Aku ingin bebas melangkah. Akan tetapi, peraturan di Megacity, kita baru bisa bebas pergi ke mana pun, setelah memiliki lisensi 17.