Bumi Pun Tersenyum

Niken Sari
Chapter #2

BAB 2 Lembaran Kain Hijab

17 Juli 2005

Lihat aku, kuputuskan untuk melingkarkan selalu, kain hijab pembawa perubahan ini. Duhai langit, aku mencintaimu! Setelah sekian lama aku terkurung di dalam batas ruang dan waktu. Menanti sentuhan tangan itu, tangan Andini mengharapkanku, menggantikan wujudnya. Hanya aku yang bisa..., hanya aku...!

 

           GADIS itu sedikit merasa sedikit canggung, saat mencoba menusukkan sebuah bros yang hendak ia lekatkan di kain kerudung putihnya. Malam hari itu, Andini begitu percaya diri dan memakai sweaternya untuk menutupi auratnya. Benar, saat ini ia diharuskan untuk menjaga aurat agar tak terlihat oleh laki-laki yang bukan muhrimnya. Konsekuensi pertama dari selembar kain jilbab berwarna putih. Tak ada persiapan apapun, bahkan Andini sama sekali tidak memiliki pakaian muslim satu pun. Semuanya serba mendadak dan dikompromikan oleh ibundanya sendiri.

           Andini tak sempat berpikir sejauh itu. Yang ia inginkan dalam detik ini adalah menyelempangkan kain jilbab itu untuk pertama kali, kemudian ia keluar rumah dan memperlihatkan perubahan itu untuk pertama kalinya. Malam hari itu, rumah terlihat sepi. Yang terlihat hanyalah sang ibundanya yang sedang berdzikir setelah ia menjalankan ibadah shalat isya’nya. Wanita itu, yang sebelumnya tengah berkonsentrasi memutar tasbih dan mengucapkan kalimat pujian untuk Tuhan, tiba-tiba berhenti.

           Tertegun, ketika ia melihat sekilas bayangan Andini yang baru saja melintas di sampingnya.

           “Andini...? Kau?”

           Namun gadis itu sepertinya tak mendengar ucapannya, ia terus melangkah meninggalkan ibundanya yang sejak tadi masih terus menatapnya. Sosok gadis itu perlahan-lahan menjauh dan menghilang dari hadapannya. Tampak secercah senyum tipis melukiskan perasaan bahagia, bahwa puterinya telah melaksanakan kewajiban yang diperintahkan oleh agamanya, yaitu mengenakan jilbab.

           “Alhamdulillah, terima kasih Ya Allah telah kau bukakan pintu hatinya.” wanita tua itu mengusapkan kedua tangannya setelah mengucapkan kata’Amin’untuk pertama kalinya atas perubahan drastis dari sikap Andini selama ini.

*

           Perubahan itu ternyata tak semudah yang dikira. Andini sempat merasa dirinya aneh dan orang-orang yang mengenalnya pun sampai mengernyitkan alisnya, melihat kerudung putih Andini yang melekat di kepala dan menutupi rambutnya.

           “Andini?”

           “Ya?” gadis itu menengadahkan kepalanya, menatap wajah si penjaga toko.

           “Berjilbab? Tadi pagi masih enggak, kan?”

           Andini meringis,“Hidup itu penuh misteri, Mas.”

           Kasir minimarket itu masih juga tak percaya atas keanehan Andini yang mendadak berubah tanpa hitungan hari. Mirip dengan seorang Sailor Moon, pikir petugas kasir tersebut heran.

           “Kenapa berjilbab?”

           “Kamu enggak perlu tahu.” gadis itu pun segera pergi meninggalkan lelaki berkumis yang sejak dulu selalu mencari perhatian darinya. Andini keluar sambil tersenyum, rupanya inilah awal dari seribu macam pertanyaan yang akan didengarnya, dan mungkin semua itu akan terjadi selama beberapa waktu. Hingga mereka akhirnya pun, mendiamkannya untuk selamanya. Ia pun terus berjalan dan berjalan, menyusuri setiap hitungan detik yang menampakkan perbedaan.

           Ah, Andini sudah jadi alim!

           Ucapan tersebut sempat ia dengar saat berjalan melewati para pemuda-pemuda yang sering nongkrong di pinggir jalan. Andini menengadahkan kembali kepalanya, menatap ke atas langit. Malam itu rupanya, malam kelima belas. Di mana sang bulan penuh itu menampakkan wujud dan sinarnya.

           “Aaah....,” helanya. Gadis itu kembali pulang ke rumah. Keputusan masih tetap ada di tangannya, apakah ia masih berkeinginan untuk mengenakan jilbab itu, atau tidak. Bahwa Andini percaya akan satu hal. Semua yang dilakukannya, barulah awal dari permulaan. Dan ia sendiri tidak tahu, apa yang akan terjadi nanti.

           Benar, ia tak pernah tahu apa yang akan terjadi...

           Sampai akhirnya, ia pun kembali menyentuh cermin itu. Ketika jilbabnya telah terlepas kembali. Menjadi Andini yang nyata dan pemurung. Cahaya berkelebat masuk ke dalam cermin. Cahaya-cahaya itu menyilaukan mata Andini, beberapa detik. Sampai pada detik ketika ia membuka matanya lagi.

*

 

 

Nasehat sang ibunda,

           Andini masih duduk di depan cermin, memandangi wajahnya dengan penuh keraguan. Percobaan untuk malam ini baru saja dimulai, dan baru seorang yang melihat perubahannya tampak aneh. Sejenak gadis itu ragu, walau sang cermin menguatkan mental dan hatinya untuk dapat mengenakan jilbab. Dalam sisi jiwanya yang lemah, dan terbayang-bayangi oleh aturan-aturan yang mutlak dan wajib ditaati. Sebagai seorang muslimah, akhwat. Padahal, tujuannya berjilbab adalah hanya satu, agar dirinya dapat diterima oleh teman-temannya dan keluar dari sikap individualisme yang memenjarakannya selama ini. Bukan dengan konsekuensi yang akan didapatnya.

           Pintu kamarnya terbuka, terlihat seorang wanita tua berdiri diam sambil menyunggingkan senyum tipisnya. Andini menoleh ke arah wanita itu, tanpa membalas senyumnya. Kemudian kembali menatap cermin.

           Diam. Menundukkan kepalanya.

           “Andini...,” ia mendekati gadis itu. Dan membelai-belai rambut Andini yang tergerai tipis. “sudah yakin mau berjilbab?” tanyanya.

           Andini diam sejenak, memikirkan kata-kata yang akan ia utarakan pada ibundanya. Apa? Kira-kira yang harus dikatakannya? Sebuah kejujuran?

           “Kerudung dari siapa itu, Andini?”

           “Dari teman, anak UKKI di kampus.”

           Ibunda Andini mengernyitkan alis, “UKKI? Apa itu?”

           “Kegiatan Kerohanian Islam, Bu.”

           “Kenapa dia memberimu kerudung itu?”

           “Biar aku ketularan berjilbab katanya, begitu.”

           “Bagus itu, Andini. Temanmu baik.”

           “Tapi...,” Andini mendadak ragu.

           “Kenapa?”

           “Konsekuensinya berat, Andini nantinya akan susah mendapat pekerjaan. Dengan jilbab ini, karena kebanyakan perusahaan tidak mau menerimanya.”

Wanita itu mengambil jilbab putih Andini, kemudian ia lingkarkan di kepala gadis itu.

”Jika seseorang gadis telah memutuskan untuk berjilbab, maka ia wajib menjalankan hukum-hukum yang telah ditentukan. Dan itu tidaklah mudah, bahwa nantinya kau akan dituntut ini dan itu, maka nasehat ibu dengarkanlah..., pakailah jika memang hatimu sudah siap. Tundalah jika memang kau masih terasa berat untuk melakukannya.” pesannya.

           Andini mengangkat kepalanya, menghadap wajah ibunya. “Bolehkah seperti itu?”

Lihat selengkapnya