Dalam setiap kesempatan, aku bercermin.
Bertanya pada bayanganku, tentang bagaimanakah keputusanku.
Karena di dalam cermin itu, tersimpan seribu macam aura kesaktian, yang membuatku lebih hidup.
Cermin. Ia bercermin ketika tengah duduk sendiri di bangku panjang hall D, pagi hari itu. Terlambat mengikuti mata kuliah Statistika di jam pertama membuatnya harus terhukum dan nampak seperti orang bodoh yang duduk sendiri di ruangan sepi. Tanpa dapat melakukan apa-apa, selain menunggu dalam kebodohan. Sial! Umpatnya dalam hati kesal. Harusnya ia tak terlambat datang, karena jika terlambat sekali maka pastinya ia akan kehilangan kesempatan untuk mendapatkan nilai tambah dengan menjawab soal-soal dari materi yang diberikan oleh dosen Statistik tersebut.
Menunggu adalah satu hal paling menyebalkan, sepanjang yang ia tahu. Bahwa kini dirinya tengah merenung memandang dinding-dinding putih yang terdiam membisu. Akan tetapi, jika ia kembali melihat cermin. Maka, dinding-dinding itu seakan bercerita padanya tentang sebuah kisah masa lalu yang kelam. Pada suatu masa, saat dirinya berselisih dengan saudara kandungnya hanya karena ia tak ingin dianiaya dan diperlakukan semena-mena, dan tak layak dilakukan pada seorang adik. Pagi ini, ia hanya menunggu, detik-detik saat teman-temannya yang lain keluar dari kelas dan mendapatinya berbalut jilbab. Kira-kira, apa tanggapan mereka. Jika di bawah pohon beringin orang-orang tak memperhatikan perubahannya. Mungkin di tempat ini, ia akan mendapatkan hal itu.
Teman. Hanya teman, ia tak ingin sendiri lagi. Bahkan jika teman-teman barunya tak mengetahui tentang penyakit anehnya tersebut.
Lima menit,
Lima belas menit,
Tiga puluh menit.
Ketika gadis itu tengah melamun dan merenung pada dinding-dinding yang membisu, tiba-tiba sosok gadis berjilbab yang dulunya ia pernah temui dan juga merupakan golongan jilbabers itu berjalan menghampirinya sambil tersenyum menyapa.
“Subhanallah, Andini. Kau sudah berjilbab. Alhamdulillah, Ya Allah..., akhirnya kau bukakan juga pintu hatinya untuk beribadah seutuhnya dan membuka pintu surga.” ucapnya dengan memperlihatkan mimik wajah gembira yang terkesan jujur. Gadis itu mengangkat kepalanya, sedikit terheran.
“Kak Wina, kau..., apa kabar?!” sapa Andini. Ia membetulkan jilbabnya agar terlihat rapi di hadapan seniornya.
“Baik, sejak kapan pakai jilbab?”
“Tiga hari ini.”
“Sudah berjanji pada dirimu sendiri?”
“Janji?”
“Iya, janji pada Tuhan.”
“Tentang?”
“Konsekuensi, dan tidak melepas jilbab hanya untuk kepentingan duniawi.” jelasnya. Andini mengangguk.
“Aku tahu, dan sudah memikirkannya. Bahkan jika itu merupakan satu hal yang paling terberat sekalipun.”
Wina menepuk pundak Andini. “Alhamdulillah, kau sudah tahu makna jilbab yang sesungguhnya. Andini, mulai besok aku akan mengajakmu masuk ke dalam anggota UKKI, di sana kau bisa belajar banyak tentang agama dan mendapatkan teman-teman baru. Kau bisa menceritakan pengalaman pertamamu tentang jilbab. Dan, jika kau sudah aktif, maka nanti akan ada rencana study tour ke Malang. Kita akan mengadakan pengajian di kota Malang bersama teman-teman se-UKKI. Mau ikut?”
Andini terdiam sesaat, inikah hasil dari perubahan utamanya? Di mana akhirnya ia mendapatkan teman-teman baru di dalam komunitas keagamaan? Ini yang semenjak dahulu diharap-harapkan oleh gadis itu. Mendapatkan penerimaan sebagaimana mestinya. Dan, hanya di dunia baru dan pertemuan dengan orang-orang baru pula yang mengantarkannya untuk menjadi seorang Andini yang baru. Wujud seorang gadis baru. Manusia baru. Tak banyak berpikir, pun gadis itu langsung bersedia menerima permintaan Wina.
“Ya, aku mau.”