Wanita tua itu menyiapkan sarapan pagi untuk Andini, hari itu tepat pada hari minggu, di mana tak ada jadwal kuliah dan bebas dari tugas-tugas harian yang membuatnya lelah. Andini duduk sambil membaca di teras halaman rumahnya, ia menatap selembar kertas sambil di tangannya menggenggam ponsel. Terbesit sedikit keraguan apakah ia harus berkenalan secara tak nyata dengan Elmo. Apakah ia perempuan atau laki-laki, yang pasti saat ini ia hanya ingin mendapatkan teman baru. Tingkah aneh gadis itu pun terbaca oleh ibunya. Yang tengah mengawasinya dari kejauhan. Sambil membawa sarapan pagi Andini, ia mengejutkan gadis itu dalam lamunan sepinya.
“Andini...” sapanya mengejutkan. Gadis itu terhenyak seketika, ia mengelus-elus dadanya karena napasnya naik turun akibat kejutan yang membuyarkan lamunannya. Gadis itu lekas-lekas menyembunyikan kertas rahasianya di balik bajunya.
“Ibu...” gadis itu cemberut.
“Kau sedang apa, Sayang?”
Andini menundukkan kepalanya, rona wajahnya pun memerah. Ia tak berani menjawab pertanyaan wanita itu. Akan tetapi sepertinya ibunya tahu bahwa Andini sedang gundah karena asmara. Ia membelai-belai rambut Andini yang terurai panjang.
“Sedang kasmaran?”
Andini menggeleng.
“Pusing mikirin ujian?”
Andini kembali menggeleng.
“Apa yang kau sembunyikan dari ibu? Katakan, kau sudah berjanji untuk tidak berkata jujur. Ceritakan, apa kegundahanmu ini karena merindukan sesuatu, Nak?” rayunya lagi.
Andini menengadahkan kepala menatap ke atas langit, “Aku merindukan mereka. Ayah dan ibu.” Sedetik itu pula ia melemas, kepalanya tertunduk lesu.
Wanita tua itu menghela napas panjang, apa yang kini ia katakan dan harus katakan?
“Kenapa kau merindu mereka?”
“Kemarin, saat aku akan mendaftar sebagai anggota di komunitas kerohanian. Ada seorang wanita yang menghentikan langkah kakiku untuk masuk ke dalam. Aku berdiri terpaku sambil mendengarkan ceramah agama dari wanita itu. Ibu tahu apa yang sedang dibahasnya?”
Wanita itu mengernyitkan alis, “Apa?”
“Perempuan yang haram dinikahi untuk selamanya, harusnya ibuku dulu tak mencintai ayah. Harusnya, jika memang mereka ditakdirkan untuk menjadi saudara sesusuan, harus dipisah. Harusnya, jika memang itu berbahaya karena mereka terikat kontak batin sebagai saudara, harusnya mereka berpisah. Harusnya, aku tak terlahir sebagai anak haram, kenapa Bu? Huhhuhu...” gadis itu memeluk ibu asuhnya.
“Jadi begitu? Harusnya lebih baik kau tak perlu mendengarkan semuanya jika itu membuatmu menderita. Ini bukan kesalahanmu, tapi kesalahan orangtuamu yang memaksa untuk menjalin kasih. Cinta itu menghilangkan akal sehat, membuat perasaan dan pikiran manusia terkadang jika tengah digilai cinta akan menjadi kacau, seperti orang gila. Itulah cinta ayahmu dan ibumu, ayahmu adalah saudaraku. Memang, ibumu terlahir sebagai manusia yang sempurna, ia cantik dan baik hati. Kami kira mereka dekat karena ikatan persaudaraan, lambat laun ikatan itu berubah menjadi getaran cinta. Cinta itu memang datang dengan sendirinya. Tapi, ibu terharu dengan kisah cinta terlarang mereka, hidup dan mati bersama. Dan tersisa kau yang masih hidup, Tuhan Maha Tahu Segalanya, Andini. Dia memilihkanmu sebagai jenis perempuan, dan bukan laki-laki.” Ujarnya sambil mengusap air mata gadis itu.
“Kenapa masih harus ada keberuntungan, Bu?”
“Jika kau terlahir sebagai laki-laki, umurmu tak akan pernah lama. Karena kau mengidap penyakit hemofilia atau kelainan darah. Karena terjadi bentrokan antara darah ibu dan ayahmu, dan jika melahirkan laki-laki tak akan pernah berumur panjang. Beruntung kau perempuan, karena hanya menjadi pembawa sifat hemofilia, kau tak akan pernah mati kehabisan darah. Tapi nanti jika kau punya anak, maka salah satu dari mereka akan terkena hemofilia, jika itu laki-laki Andini.”
Gadis itu terperanjat mendengarkan penjelasan ibu asuhnya, “Bagaimana bisa begitu? Apakah itu semacam hukuman?”
Wanita itu menggeleng, “Bukan, tapi terjadi kelainan darah. Ketika darah itu sama maka akan melahirkan anak yang cacat. Itu saja, karena itu Tuhan melarangnya, sebab akibat buruk yang nanti akan terjadi di dalam keturunan mereka. Maka Tuhan mengasihinya dengan melarang percintaan antar saudara sesusuan.”