Bumi Pun Tersenyum

Niken Sari
Chapter #6

BAB 6 Cerita Kaum Sufi

“Elmo, ini benar dengan Elmo?”

           “Ya, ini siapa ya?”

           Gadis itu terdiam sesaat, apa dia harus mengatakan nama sebenarnya? Atau memakai nama palsu? Ah, mungkin lebih baik jika memakai nama palsu saja, pikirnya begitu.

           “Kenalkan, namaku Pelangi.”

           “Pelangi, nama yang lucu tapi cantik.”

           Andini tersipu malu, “Terima kasih. Aku tahu namamu dari ini, yah...aku tak sengaja menemuka kartu rencana studimu semester lalu.”

           “Hah? Terus?”

           “Yah, kau tahu sendiri aku tertarik mengenalmu ya...ya dari namamu yang unik juga. Elmo.”

           Terdengar suara gelak tawa yang membuat hati gadis itu semakin kebat-kebit tak keruan. Senang rasanya mendapat teman baru walau ia tak terlihat nyata. Tapi, mendengar suaranya saja sudah membuat hati nyaman.

           “Hahaha, kamu jurusan apa, Pelangi? Terus angkatan tahun berapa?”

           “Manajemen Pemasaran, angkatan yang sama denganmu.”

           “Oh..”

           Pembicaraan terus berlangsung hingga tiba-tiba Andini ingin mendengar cerita dari sosok lelaki itu tentang pendalaman agama.

           “Kamu tahu nggak, El?”

           “Apa?”

           “Kamu agama apa?”

           “Islam, kenapa?”

           “Alhamdulillah, untungnya kita sama.”

           “Memangnya kenapa?”

           “Ibuku bilang kalau untuk pertama kali berkenalan dengan lelaki harus menanyakan agamanya, sebelum nanti terjadi sesuatu.”

           “Bagus itu, hahaha..., kamu ada-ada saja.”

           “El...”

           “Ya...?”

           “Aku pengen kamu bercerita tentang kisah orang sufi, kamu tahu nggak tentang itu?”

           “Kisah sufi? Memangnya buat apa?”

           Andini terdiam, mencoba untuk terus berpikir dan berpikir sampai tahu apa yang akan ia katakan. “A...aku, baru ikut kegiatan kerohanian Islam, terus aku diminta sama temanku buat nyari artikel tentang kisah orang sufi, kira-kira apa ya? Kamu punya bukunya, nggak? Kalau ada, boleh aku pinjam?”

           Tiba-tiba hening, entah kenapa. Gadis itu merasa takut kalau-kalau arah pembicaraannya salah dan membuat ilfeel lelaki itu. Tidak! Apakah aku telah salah? Tanyanya gemetar.

           “Hai, maaf.., Pelangi. Aku, baru memikirkan kisah itu. Ehm, jadi kamu anggota UKKI? Benar nggak bohong?”

           “Iya, kenapa?”

           “Baiklah, aku akan menceritakan padamu saja. Aku tidak punya bukunya, tapi aku bisa bercerita dari awal sampai habis. Kalau kau tidak mengantuk mendengarkanku, aku sih, mau-mau saja.” Sahutnya. Andini segera merekam pembicaraan itu dari ponselnya.

           “Sudah, kau boleh bercerita.”

           “Ini tentang kematian. Pada zaman dahulu ada seorang lelaki yang suka menipu. Gonta-ganti nama, sudah menjadi kebiasaan dalam hidupnya. Semua penduduk kampung memberinya julukan: Fulanut-Thirar alias Fulan yang licik. Pekerjaan sehari-harinya menipu di pasar. Yang menjadi sasaran prakteknya adalah orang kampung yang datang ke kota. Pada suatu hari, di tengah pasar dia bertemu dengan seorang lelaki kampung. Dengan lincah dia memerankan diri, menyampaikan salam sambil menyapa: “Saudara, engkau adalah teman bapakku kan? Hari ini aku mengundangmu ke rumahku.” Lelaki kampung itu menjawab: “Aku tidak mengenal ayahmu.” Jurus berikutnya si Licik bicara: “Ah, barangkali engkau lupa. Aku sama sekali tidak melupakan wajahmu.” Lalu si Licik mengajak sang lelaki kampung masuk ke restoran. Dia memesan segala macam makanan dan minuman yang disukai. Sudah menjadi tradisi, dinegeri itu bila memesan makanan di restoran bayar belakangan. Setelah makanan tersaji, dinikmatinya hingga lahap. Ketika tinggal sedikit, si Licik pura-pura keluar ke kamar kecil, lalu pergi meninggalkan restoran. Selesai makan, si pemilik restoran minta bayaran kepada lelaki kampung yang tidak tahu apa-apa. Tahunya, dia diajak makan oleh kenalan barunya. “Aku adalah tamu dari lelaki yang keluar tadi,” kata lelaki kampung lugu. Dia sadar terkena tipu. Mau tidak mau, dia harus membayar seluruh makanan yang dipesan si Licik.

           Perbuatan menipu dilakukan si Licik setiap hari sepanjang hidupnya. Suatu ketika dia sakit. Pada saat sakaratul maut, dia memberikan uang dalam jumlah banyak kepada dua orang lelaki, dengan pesan: Bila dia mati, dua orang bayaran ini agar mengiring jenazahnya sambil mengatakan: “Sebaik-baik mayit adalah mayit lelaki shalih ini.” Merasa mendapat bayaran besar, pesan itu dilakukan hingga akhir pemakaman. Ketika orang-orang yang berta’ziyah pulang meninggalkan pekuburan, datanglah ke kuburnya dua malaikat untuk mengajukan pertanyaan kubur. Tapi pada saat malaikat hendak mengajukan pertanyaan kepadanya, datang suara memanggil: “Hai malaikat-Ku, tinggalkanlah hamba ini. Sebab semasa hidupnya dia selalu melakukan hal aneh. Akan meninggalpun masih melakukan hal yang aneh pula. Dia membayar dua orang lelaki agar mengiring jenazahnya sambil mengatakan bahwa dirinya adalah mayit yang baik. Karena itu, Aku telah mengampuni dosa-dosanya lantaran kesaksian dua orang yang mengatakan bahwa dia adalah mayit yang baik, sekalipun dua saksi itu saksi bayaran. “Demikian, dengan kelicikannya dia dapat menyiasati Allah subhanahu wa ta’ala.” Lelaki itu mengakhiri ceritanya dengan menyebut nama Allah.

           Tak ada suara balasan dari Andini. Ia hanya diam membisu terpaku mendengarkan suara dan cerita darinya. Sampai ia tak sadar bahwa cerita telah usai, masih termenung sambil berpikir akan sesuatu, yang membuatnya tiba-tiba bertanya sesuatu di luar dugaannya sendiri. “Ah, bagaimana dengan suami istri yang menikah tapi masih terjalin hubungan darah sebagai saudara sesusu? Kemudian mereka mati bersama, apakah Allah akan memberikan hukuman di alam kubur dan memberikan pertanyaan pada keduanya, tentang kenapa mereka melanggar hukum?”

           “Hah?”

*

Sebuah Kisah Surat,

           Kekasihku, pada setiap detik napasmu aku menangis. Menderita secara lebih dari meluapkan rasa gembira itu sendiri. Dalam sepi apakah kau tahu dunia kita ini sama? Pada setiap apakah cinta itu akan terbentuk, seperti gumpalan-gumpalan awan yang nantinya menguap dan berubah menjadi air hujan? Kau basah oleh airku, kau cantik laksana wajah malaikat perempuan yang selalu kuimpikan dalam tidurku.

           Kekasihku, jika memang dunia tak ingin kita bersatu. Pada Tuhan yang menciptakan takdir kita. Salahkah jika aku dan engkau memutuskan untuk menjauh dari kebisingan-kebisingan suara yang semakin membuat sesak di dada? Pada setiap jutaan helaan napasmu yang kuhirup. Pada setiap desahan napasmu ketika bibirku merengkuh bibirmu, pada setiap pelukan yang kurasakan begitu menggairahkan?

           Haruskah aku meninggalkanmu? Sampai detik malaikat maut akan mengambil ruhku, aku tetap akan mencintaimu. Rabiah...

Salam penuh cinta,

 

Lihat selengkapnya