“Kau anak haram dari Om Husain dan Tante Rabiah ya?” celetuk salah seorang gadis keturunan etnis itu padanya tiba-tiba, saat ia baru saja melangkah keluar dari kamarnya dengan didampingi oleh ibu asuhnya.
Andini terperanjat hebat, baru saja ia memberikan ultimatum pada wanita tua itu bahwa jika ada seorang yang berkomentar tentang status peranakannya, maka ia akan pergi jauh dari rumah dan tak pernah mau kembali lagi.
Kaki Andini gemetar, detak jantungnya pun berdegup semakin kencang. Ia tak tahu harus menjawab apa untuk kali ini, ia tak sanggup menjawabnya. Hanya beribu rasa kecewa terpancar dari bola matanya yang perlahan-lahan air yang menggenang itu tertumpah ruah.
“Me...memangnya kenapa? Dengan status anak haram?”
Gadis etnis itu pun berlagak sok cantik dan menghinanya, “Anak tampungan, sampah masyarakat, dilaknat Tuhan. Harusnya kau lebih baik mati menyusul ibumu! Gara-gara ibumu, aku kehilangan om yang kusayangi. Gara-gara kau kami kehilangan anggota keluarga besar. Ibumu memang wanita jalang, tukang penggoda laki-laki, bahkan sampai menggoda saudara sesusuannya sendiri. Tidak punya malu!” makinya kemudian ia meludah di kaki Andini.
“Ah..., kau!” Andini mundur kebelakang untuk menghindari injakan ludah itu. Tak habis pikir bahwa saudara sepupunya begitu kejam padanya dan memandangnya dengan pandangan sinis. “Kau gila!” Andini berbalik dan berlari menuju kamarnya. Suasana acara pesta mendadak berubah menjadi hening, semua tatapan mata terfokus pada gadis etnis itu.
a Dan tamparan pun mendarat di pipi gadis etnis itu dengan keras, “Feifei...! Hentikan ocehanmu! Dia saudara sepupumu sendiri, bersikaplah baik!” serunya kemudian ia menyusul gadis itu ke dalam kamarnya. Gadis etnis itu diam tertegun, sambil mengelus-elus pipinya.
“Sakit sekali, Tante Kuff lebih berpihak pada anak haram itu.” gerutunya kesal, ia pun berlari keluar dari ruang tamu dan masuk ke dalam mobil sedan putihnya. Mobil sedan itu pun melaju kencang, melawan hembusan angin malam yang kala itu berhembus sangat kencang. Dan perkiraan cuaca malam itu akan terjadi hujan badai. Dan berbahaya sekali bagi para pengendara untuk berada di luar rumah.
Di mana keberadaan Andini? Apa yang dilakukannya saat ini?
*
Andini sengaja mengunci pintu kamarnya dari dalam. Sepertinya ia tak mengijinkan siapapun termasuk ibu asuhnya sendiri untuk menemuinya.
“Andini!” panggil wanita tua itu sambil menggedor-gedor pintu berkali-kali. Namun tetap tak ada sahutan dari dalam. Yang terdengar hanyalah suara isakan tangis yang mendayu-dayu, sedu sedan. “Andini, buka pintunya. Kau tidak perlu mendengarkan ocehan Feifei, dia memang suka begitu. Tak usah diambil hati, Sayang. “
“Kata-kata yang tidak semestinya diucapkan! Aku benci! Benci semua!” sahut Andini.
“Dia itu bodoh! Buka pintunya.”
Wajah Andini semakin pucat, sorot matanya yang dalam dan kelam semakin muram. Ia kembali menatap cermin di sampingnya. “Anak haram! Kau yang di dalam cermin anak haram!” teriaknya sendiri, ia melempari cermin yang sudah retak itu dengan barang-barang miliknya. Andini merasa bagai dipukul berkali-kali dengan sebatang tongkat. Selama hidup ia tidak pernah merasa dipermalukan dengan jelas-jelas di depan keluarga ayahnya seperti itu. Begitu malu, dan begitu rendah. Air mata mengalir deras membasahi pipinya. Hatinya bagai diremas-remas hingga seluruh tubuhnya terasa sakit.
Masih saja terdengar seruan suara ibunya yang memintanya untuk membukakan pintu.
“Biarkan aku sendiri, Bu. Biarkan..., sudah kukira akan terjadi hal seperti ini. Biarkan aku sendiri!!!” serunya tegas. Semenit itu pula tak ada suara-suara lagi selain keheningan. Satu per satu mereka memutuskan untuk pulang ke rumah dan meninggalkan acara pesta. Suasana yang berubah menjadi kacau.
Gadis itu terus menangis, sampai ia tak sengaja menekan nomor telepon sang lelaki misterius itu.
“Hallo, El?” sapanya di tengah isakan-isakan tangis.
“Pelangi? Kenapa dengan suaramu?”
“Aku pengen nangis...”
Begitu lara suasana sedih nan bertabur kesunyian, begitu pedih akan satu hal kisah yang mencoreng hidupnya. Pada sebuah masa, kisah cerita yang tak pernah usai dan terhapus oleh waktu. Aku bertanya, kapankah semua akan usai?
Kering Harapan
Ia berpikir,
mungkin...
Tuhan sedang menguji,
mungkin juga
Tuhan sedang membencinya,
Ia terus berpikir,
mungkin...
Tuhan mengasihi,
mungkin saja,
saat ia sedang terputus asa. Harus bagaimana lagi?
Jika umpatan menjadi penolong,
untuk batinnya.
*
Malam hari itu, hujan sangat deras. Anginnya begitu kencang sampai membentur kaca mobil depan gadis itu, Feifei. Ia melaju dengan cepat, malam itu tepat pukul sepuluh malam. Jalanan sudah mulai agak sepi dan tak ramai oleh banyaknya pengendara sepeda motor yang menyesakkan pemandangan setiap pagi dan sore menjelang. Feifei tak habis-habisnya mengutuk hujan itu berkali-kali, apalagi jika ada suara halilintar yang makin membuatnya ketakutan.