Beberapa saat lamanya. Andini tenggelam dalam perasaan pedih yang menyakitkan, yang belum ia rasakan sebelumnya.
Pergi kuliah, belajar, pulang kuliah, pulang ke rumah. Kehidupannya berubah jadi amat teratur. Dan setiap malam ia mengurung diri di kamar, sama sekali tidak ke luar rumah. Ia tidak menonton televisi, tidak membaca buku-buku agama, juga tidak keluar rumah. Sudah setengah bulan lamanya ia tidak mengunjungi base camp UKKI. Ia sering mendengarkan lagu dari piringan hitam-piringan hitam apa saja. Sekali memasang salah satu piringan itu, ia akan mendengarkannya sampai larut malam.
Kadang-kadang ia tidak mengerjakan apa pun, hanya bertingkah seperti orang bodoh, matanya menatapi lampu meja namun pikirannya entah melayang ke mana. Sejak kejadian itu, yang membuatnya malas untuk berhubungan dengan siapa pun lagi. Merenung, merenung dan merenung. Memikirkan tentang sebuah cinta dan perasaan yang tiba-tiba timbul dari dalam hatinya.
Andini sedang jatuh cinta. Pada sosok bayangan mayanya, sementara ia sendiri berada dalam dilema. Karena ada seseorang pula yang nyata-nyata mengaku mencintai Andini sejak ia masih mengikuti kegiatan Ospek di kampus beberapa waktu lalu. Krisna, salah satu anggota klub Himapala. Dua hari lalu baru saja mengutarakan perasaannya pada saat mereka duduk berdampingan di kelas yang sama. Dan gadis itu masih mendiamkannya saja, tidak tahu harus menjawab apa untuk pernyataan cintanya tersebut. Bahwa sebenarnya, ia menyukai sosok manusia bayangan, Elmo dari yang lainnya. Karena laki-laki itu membuat hatinya nyaman dengan segala pembahasan yang selalu dibicarakan ketika Andini menelponnya.
Alangkah bingungnya Andini. Berkali-kali ia menghela napas panjang, dan mengeluh kesah kenapa harus ada orang lain yang mencintainya tatkala ia menaruh rasa cintanya pada orang lain? Andini mulai mengutarakan perasaannya ke dalam syair-syairnya.
Pemilik Cinta, Tuhan.
Bawalah daku ke dalam singgasanaMu, yang Agung.
Degup jantung ini tak bisa berhenti, saat kupandang wajahMu.
Berikan aku, satu kepastian, jawaban dan harapan.
Pemilik Cinta, Tuhan. Tubuhku terbujur kaku, dingin. Aku merasa Kematian akan menjemputku.
Andini menempelkan selembar kertas itu di sisi cermin, sepintas lalu ia melihat dirinya yang berada di dalam cermin tengah menangis. Air matanya mengucur deras, hampir-hampir seperti menangis darah. Gadis itu terperanjat hebat. Ia menyentuhkan jemarinya pada cermin.
“Ada apa denganmu? Kenapa kau menangis seperti itu?”
Tuhan tak memaafkan kesalahan ayah dan ibu kita Andini. Kenapa kau masih sempat memikirkan cinta?
“Cinta?”
Iya, Cinta. Belakangan kau disibukkan dengan permasalahan cintamu. Hatimu, gundah karena memikirkan laki-laki, apa kau tidak malu?!
Andini terhenyak, “Tunggu-tunggu, maksudmu apa?”
Kau jangan berlagak bodoh, Andini. Hapuskan rasa cinta dan pengharapan itu dari dalam jiwamu. Kau sudah berjanji untuk mencari tahu jawaban atas kematian ayah dan ibu kita, kenapa mereka mati dan tersalah, terlaknat, dan kau dicap sebagai anak haram! Lupakah kau dengan itu?
Andini diam seribu bahasa, ia menarik cermin itu dari paku dan melemparnya ke lantai. “Aku tidak akan pernah berhubungan lagi denganmu, kau iblis!”
Selama ada cermin di mana-mana, kau tak akan pernah bisa menghindar dari bayanganmu sendiri. Hahhahaha.....
Tiba-tiba Andini menjerit histeris, ia berusaha mencari sesuatu untuk memecahkan cermin tersebut. “Pergi kau dari kehidupanku, pergi!” serpihan-serpihan cermin itu mengenai tangan Andini dan kulitnya robek, darah merah segar bercucuran di mana-mana. Andini merintih kesakitan, ia memanggil ibunya sambil berlari keluar dengan tergopoh-gopoh. “Ibu...ibu....!”
Wanita tua itu tengah sibuk memasak di dapur, mendengar panggilan Andini yang berbeda dari biasanya membuat wanita itu terkejut dan lekas-lekas mematikan kompor yang masih menyala. Dan berlari menjemput Andini.
BRAK! Tubuh mereka saling berbenturan hingga keduanya terjatuh.
“Ibu...!”
“Andini ada apa?!”
Gadis itu membantu ibunya berdiri, dengan kondisi tangan yang berdarah-darah. Wanita tua itu menjerit saat melihat darah berceceran di lantai dan sempat beberapa tetes mengenai pakaiannya.
“Cermin itu, Bu. Cermin di kamar.”
“Kenapa dengan cermin? Tanganmu terluka, kau kenapa?”
Andini menangis sesenggukan dalam pelukan ibundanya, “Ibu, cermin itu tidak memperbolehkan Andini jatuh cinta. Cermin itu ingin agar Andini tetap sendiri dan bersamanya. Cermin itu, Bu..., huhuhu...” gadis itu pun jatuh tak sadarkan diri, tubuhnya melemas sejak darah itu keluar dengan derasnya dari robekan kulit akibat serpihan cermin yang besar yang melukai tangannya.
“Andini...!”
*
Dalam keadaan setengah sadar Andini dibopong ke mobil. Gandu mengambil alih kemudi, ayah Gandu duduk di sampingnya, sementara Andini dipangku oleh ibu asuhnya yang tengah menangis ketakutan. Darah segar itu masih mengucur deras dari pergelangan tangan yang sudah terbalut kain untuk menghentikan laju darah. Entah kenapa Andini berpikiran untuk memecahkan cermin yang sudah menjadi temannya sejak ia masih berumur empat tahun.