Bumi Pun Tersenyum

Niken Sari
Chapter #9

BAB 9 Dan Laut pun . . .

Malam sebelum pernikahan,

           Jemari Rabiah terhias oleh cat kuku berwarna merah menyala, ia termenung sendiri di depan cermin. Sendiri di dalam kamar, pada cermin itu ia berbicara. Berbicara sendiri dengan hatinya yang lesu. Esok adalah hari di mana dirinya akan dipinang oleh seorang anak lurah di desanya. Perpisahan mendadak itu sempat membuatnya shock. Ia tak sanggup menghadapi perubahan tanpa tawar-menawar terlebih dahulu. Dan, apakah ayahandanya tak memikirkan dirinya yang akan jauh lebih menderita saat masih hidup di dunia. Sedangkan ayahnya lebih mengutamakan kebahagiaan akhirat yang belum tentu ia tahu sendiri kapan itu akan terjadi.

           Jika saja ayahnya mengerti. Pasti Rabiah tak teraniaya seperti ini. Rabiah berpaling ke luar jendela. Dari lantai atas ia dapat melihat rumah Husain dengan lampu yang masih menyala. Benar, itu adalah kamar Husain. Rupanya kekasihnya tersebut belum tidur.

           “Sindrome pre wedding.” gumamnya pada diri sendiri. Malam ini mungkin Rabiah tak bisa tidur. Benar-benar tidak bisa tidur. Apakah Husain tahu tentang kabar pernikahan ini? tanyanya resah. Berkali-kali ia melirik ke arah jam dinding. Dan, andai saja jarum jam itu bergerak mundur kebelakang. Terus kebelakang. Cerita ini mungkin tak akan pernah ada. “Husain, mungkin lebih baik aku mati saja. Daripada harus menikah dengan orang lain.” tangisnya terisak-isak. Rabiah tidak tahu apa yang harus dia lakukan selain menangis di hadapan cermin itu. Yang menyisakan kepedihan batin.

           Semalaman gadis itu tetap terus melamun, sampai ia dikejutkan dengan sebuah kabar yang mengejutkan. Dan memaksanya untuk keluar dari kamar setelah ia mendengar kegaduhan yang terdengar dari luar. Satu berita yang mengejutkannya, juga pada keluarga Sulaiman sendiri.

           Rabiah keluar rumah sambil menangis, ia melihat sosok Husain tengah bersujud di depan kaki Sulaiman. Membawa sebilah pisau yang akan ia tusukkan ke jantungnya. Dengan menyembah kaki ayah Rabiah. Husain berkata,

           “Om, aku mohon. Jangan pisahkan aku dengan Rabiah, hanya dia satu-satunya wanita yang kucintai di dunia ini. Bahkan melebihi nyawaku sendiri. Saat kita masih hidup di dunia, perkenankan kami untuk berbahagia bersama, menjalani suka dan duka sampai maut memisahkan kita. Biarlah nanti aku dan Rabiah yang akan mempertanggungjawabkan semuanya. Asalkan kami masih dapat bersama.” pintanya dengan menangis tersedu-sedu.

           Namun, Sulaiman yang tak kenal hati mendorong Husain sampai ia terjatuh, menginjak-injak dadanya dengan sepatunya berkali-kali. Lelaki tua itu tak memperhatikan bahwa puterinya tengah melihat tindakan anarkisnya dari belakang.

           “Kau setan! Iblis! Kau...! Aarrght...!” tiba-tiba Sulaiman merasakan jantungnya seakan-akan tertekan, ia jatuh terduduk di depan Husain sambil meremas-remas dadanya. Rona mukanya memerah, matanya melotot dan ia merintih kesakitan. “Kau..., selamanya tak akan pernah kumaafkan. Sampai kapanpun! Ka...pan...pun!” kemudian tubuhnya tergeletak tak berdaya, terkapar di atas tanah yang dingin. Semua orang berteriak kaget, begitu pula dengan Rabiah yang juga jatuh pingsan tak sadarkan diri.

           Husain diam termangu, meratapi semua yang terjadi. Ia hanya bisa diam...diam dan diam.

           Rupanya bumi pun tak menghendakinya bersatu dengan cintanya. Rupanya demikian. Desir-desir angin malam menjatuhkan sebilah pisau dari tangannya, semua tampak dibuat sibuk.

*

           Mereka berdua terusir dari rumah. Semenjak kematian ayahanda Rabiah akibat terkena penyakit serangan jantung. Semua anggota keluarga baik dari keluarga Husain dan Rabiah tak mempedulikan lagi apa yang diinginkan oleh mereka. Semua akhirnya menyetujui sepasang kekasih itu hidup bersama, tapi tidak diperbolehkan tinggal apalagi menampakkan batang hidungnya di daerah tersebut. Karena pelanggaran norma agama dan hukum Tuhan yang disepelekan.

           Hingga akhirnya jatuh korban. Husain membawa barang-barang Rabiah masuk ke dalam taksi. Sementara Rabiah terus menundukkan kepalanya dan diam di kursi belakang sambil menangis. Ia terus menangis tanpa henti, seakan-akan laut pun menangis untuknya dan membuat air matanya tak kunjung kering dan berhenti.

           Kuffina, adik kandung Husain berlari menemui gadis itu, Rabiah. Dia menggedor-gedor kaca jendela taksi itu dan memaksa Rabiah keluar sejenak.

           Rabiah mengusap air matanya, dan membuka kaca jendela. “Ada apa?”

           Kuffina tak berkata apa-apa, ia hanya memberikan sebuah kado kecil yang terbungkus rapi padanya. “Untukmu, dan anakmu. Sebuah pesan dariku, bahwa aku tetap mempedulikan kalian.”

           Rabiah merasa terharu atas pemberian kado kecil yang sekarang ada di tangannya, ia tak mampu berkata-kata selain ia berbisik pada Kuffina. “Jagalah anakku, jika nanti aku dan Husain tak lagi mampu untuk menjaganya.”

           Kuffina mengangguk dan menepuk pipi Rabiah. Setelah Husain selesai mengemasi barang, ia pun mengucapkan selamat tinggal pada semuanya, termasuk adik kandungnya yang semenjak tadi selalu menemaninya. Husain masuk ke dalam taksi dan duduk di samping Rabiah. Waktu pun melaju dengan cepat, hingga pada akhir suatu masa. Ketika...ketika...ketika

           Dan pada satu ketika, maut memisahkan mereka berdua. Rabiah bersandar di dada Husain kemudian ia membuka amplop kecil dari Kuffina. Semenit setelah ia membacanya, air mata pun kembali mengalir dengan derasnya.

Jiwaku, kehidupan seperti perjalanan sang waktu..., malam.

Semakin cepat ia melangkah, semakin dekat akan menjemput pagi.

*

Sepuluh bulan kemudian,

           Untuk adik iparku, Kuffina.

Puteriku telah lahir, namun aku tak sanggup untuk menjaganya. Rawatlah dia, jadikan dia seperti anakmu sendiri, sampai akhirnya ia dapat menerima siapa dirinya yang sebenarnya. Berikanlah ia kekuatan selalu. Singkat pesanku, tak lagi aku kuat menulis untuk kesekian kali. Aku dan suamiku, akan mempertanggungjawabkan dosa ini di akhirat. Tapi, didiklah puteriku dengan baik. Agar ia dapat menyelamatkan orangtuanya dari siksa api neraka.

           Selamat tinggal. Salam untuk puteriku, Andini.

           Seorang wanita baru saja menerima surat wasiat terakhir itu dari saudara iparnya. Ia memasukkan kembali pesan itu ke dalam kotak kecil, sebuah kotak yang pernah diberikan pada Rabiah sebelum ia pergi dari rumah bersama kakaknya, Husain. Ia menitikkan air mata setelah membacanya. Kemudian seorang suster berjalan menghampirinya sambil menggendong seorang bayi yang baru berusia beberapa minggu setelah Rabiah melahirkan.

           “Ini bayinya.”

           Dan wanita itu pun berbalik ke luar berjalan dari koridor rumah sakit dengan pandangan lesu, sedih, duka dan tangis menjadi satu.

           “Kau adalah puteriku, Sayang. Puteriku.” ia melangkah pergi meninggalkan rumah sakit, dan berjalan bersama irama waktu yang terus bergulir. Diiringi oleh suara nyanyian angin yang syahdu.

*

           “Bagaimana kondisinya, Dok?” wanita tua itu tampaknya ketakutan saat melihat Andini tak juga sadar dari pingsannya.

           “Lukanya sudah dijahit dan diperban. Semua telah diatasi dengan baik.”

           “Tak harus sampai menginap, kan?”

           Dokter tua itu pun menggeleng, “Tidak perlu, dia hanya perlu istirahat sejenak.”

           “Baiklah kalau begitu, terima kasih.” wanita tua itu duduk di tepi ranjang rumah sakit. Di mana Andini tengah terbaring tak berdaya. Selang infus menancap di pergelangan tangan sebelah kirinya. Dan masker oksigen yang membantu pernapasannya yang sesak. Detak jantung Andini sudah kembali normal seperti sedia kala. Begitu pula dengan kondisi tekanan darahnya yang sebelumnya turun drastis. “Andini, bangun.” Sambil menepuk pipi gadis itu dua kali, untuk membangunkannya dari obat bius yang membuatnya tertidur.

           Andini mulai mengigau, “Ayah, ibu..., ayah, ibu....” kepalanya bergerak ke kanan dan kiri. Merintih kesakitan, kemudian perlahan-lahan ia mulai dapat membuka matanya. Menatap wajah ibu asuhnya yang tengah menangisinya. “Ibu, ibu..., aku kenapa?” tanyanya kebingungan, ia melihat ke sekeliling dinding berwarna putih dan aroma rumah sakit yang menyesakkan hidung.

           “Apa yang kau rasakan, Andini. Apa tanganmu masih sakit?”

Lihat selengkapnya