Aku ada di sini, dan dari awal mula pun tetap di sini, hingga kiamat itu tiba. Yang tak tahu
entah kapan datangnya. Aku ada di sini dalam setiap alam kehidupan dan dua bayangan yang berbeda. manusia yang terbentuk dan terikat dari ruh dan jiwa seperti obor yang menyala, di mana terpisahkan antara Tuhan pada terbentuknya satu penciptaan.
Aku menyayanginya, lelaki itu. Yang selalu hadir dalam setiap mimpi dan menjadi bunga tidurku yang kadang usang, temani kesepian dalam sendu yang menyala-nyala. Siapapun engkau, Sayang. Yang tak kukenal rupa, dan hanya sebatas suara yang bercerita kehidupan sufi. Oh, dirimu buatku tergeletak tak berdaya. Apakah engkau adalah satu cinta dari Tuhan yang tertakdir untukku?
Jika aku mampu, tetap ada di sini, menantimu. Hingga hari akhir itu tiba dan aku tak peduli pada setiap bisikan angin dan iblis yang selalu berlomba-lomba mengajakku ke surga dan neraka. Embun, setetes air embun yang menitik dari ujung daun birkin. Seperti setetes air mata yang mengalir pelan dari pelupuk mataku. Mengalir..., seperti air yang mencari-cari tempat pelabuhan terakhir untukku bersinggah di dadamu.
Lelaki itu, cinta....dapatkah aku berkata padamu, bahwa aku sangat mencintaimu..., melebihi tingginya gunung dan langit, maka kau tanpa rupa. Seperti bentuk angin, benar...suaramu laksana angin yang sejuk. Yang bertiup padaku, dan bernyanyi syahdu nan merdu senandung penuh cinta dengan kasihmu. Kau seperti sebuah bentuk perasaan, seperti zat...yang dapat berubah setiap waktu, yang kadang aku merasakan kepiluan dan ratapanmu mengadu pada senja.
Atau mungkin, kau sedikit menyamaiku, angin? Katakan pada lelaki itu, tanpa rupa. Bisikilah dia kata cintaku padanya. Apakah dia mau?
Halaman pertama dari buku harian itu telah terbaca, Krisna sengaja duduk menyendiri di sudut ruang UKM Himapala, walau kegaduhan sangat terasa dan terdengar dari sekelilingnya yang tengah asyik tertawa dan bersenda gurau satu sama lainnya, entah apa yang tengah dibahas oleh mahasiswa Himapala itu selain rencana untuk mengadakan kemping di gunung Semeru. Krisna masih berkeinginan untuk membaca kembali isi dari buku harian tersebut, akan tetapi hati kecilnya menolak untuk meneruskan dan menyelidiki siapa diri Andini yang sejatinya. Ia segera beranjak dan memutuskan untuk mengembalikan buku itu pada pemiliknya, karena pastinya gadis itu akan kebingungan mencarinya. Krisna keluar dari UKM Himapala dan tak menggubris panggilan teman-temannya yang meminta ia mengusulkan rencana selanjutnya. Pikirnya, yang lebih penting adalah mengembalikan buku itu pada Andini.
Walau sejujurnya ia ingin sekali lagi mencari-cari bab di mana mungkin gadis itu tengah membicarakan dan menulis tentang dirinya. Dari tepi dinding ia berhenti lalu bersandar. Dibukanya buku itu dari halaman ke halaman menyusul sebuah bab yang menjelaskan tentang inti siapa yang sedang dibicarakan.
Ini tentang seorang penyelamat kematianku..., yang selalu berkeliaran seperti sesosok hantu yang bergentayangan. Senyum manis dan pelukan yang pernah kusinggahi di dadanya saat aku sibuk menangis ketakutan. Krisna..., kemarin ia menyatakan perasaannya padaku. Dia mengutarakannya pada saat yang tidak tepat, di mana aku sedang sibuk mencari jawaban atas semua teka-teki yang belum kutemukan.
Saat aku lebih mementingkan urusan ayah dan ibuku, dia datang dengan pengharapan yang penuh. Tapi aku malah menganggapnya sebagai angin lalu. Dan tak pernah bertemu dengannya setelah itu.
Sendiri, aku mulai merasa. Duduk di bawah pohon beringin tua yang menemani hari-hari sepiku dengan tangisan. Balutan kain jilbab ini yang membantuku sedikit tenang jika mendengar hembusan angin iblis yang selalu terngiang di telingaku untuk lebih memilih mati saja. Dan aku mendengar burung-burung itu tengah bersedih, salah seekor dari burung gereja itu terjatuh tepat di hadapanku. Ia terluka. Sebuah peluru angin menembus perutnya dan mencecerkan usus-ususnya. Aku bertanya dalam hati, siapa orang yang berani melukai burung kecil ini? Dan kembali aku bertanya pada burung itu, “Mengapa kau menangis?” tiba-tiba seekor burung yang satu lagi terbang mendekat, hinggap di ranting. Ia menatapku juga pada burung yang tengah tergeletak menanti sang malaikat maut mengambil nyawanya. Aku terus menatap mata burung gereja yang bertengger di ranting pohon beringin. Seraya burung itu berkata padanya,
“Biarkanlah ia mati!”
Dan aku membiarkannya sambil terduduk di depan burung sekarat itu, hingga saat matanya terpejam dan menyisa hitam. Aku teringat kematian ayah dan ibu....
“Andini..., adakah sebuah rahasia yang begitu penting dan kau sembunyikan dariku? Andini...,” gumamnya pelan, lalu ia memasukkan buku itu ke dalam tasnya. Dan melangkah menuju taman kampus untuk mencari gadis itu. Andini.
*
Cermin.
Secara tak sadar gadis itu menatap ke arah cermin, setelah sekian lama ia mengacuhkannya untuk beberapa waktu. Jika Andini hendak bercermin, ia selalu meminta bantuan ibunya untuk membantunya merapikan rambut dan memakai bedak. Namun, karena suatu kondisi yang mendesak, mau tak mau ia harus menatap cermin tatkala tiba-tiba ia mengalami mimisan. Hidungnya mengeluarkan darah merah yang terus menerus keluar dan tak mau berhenti. Andini mendongak, agar darah itu berhenti dan menghentikan mimisannya. Tapi, payahnya darah itu malah masuk ke dalam kerongkongan dan seketika itu juga Andini memuntahkannya. Wajah yang penuh dengan darah, semakin bertambah panik saat tak ada seorangpun selain dirinya berada di dalam kamar mandi.
“Hoek....!” dalam kebisingan air kran yang terus mengalir, Andini menatap diam terpaku ke arah cermin. Ia melihat wajahnya yang terlihat sangat mengerikan, di mana darah itu masih keluar deras dari hidungnya. Air yang menghiasi wajahnya dan membasah sedikit pada kain jilbabnya.
Andini...
Bayangan di dalam cermin itu mulai berbicara, dan membuatnya tersentak seketika. “Kenapa kau?”
Kenapa aku? Lihatlah dirimu, semakin menggenaskan...
Andini menutup hidungnya dengan selembar tissue, “Aku nggak apa-apa, cuma mimisan.”
Kau sakit, Andini...sakit...
“Kau salah, aku tak akan pernah menyentuhkan jariku padamu. Aku tak akan pernah mau mengeluarkanmu lagi. Karena kau hidup tanpa cinta, kau tak percaya cinta. Kau hanya bayangan dan bukan manusia sepertiku, yang tak kenal perasaan.”
Bayangan itu tertawa. Kemudian ia menghembuskan nafasnya pada cermin dan membuat cermin tersebut tertutup oleh embun. Andini lekas keluar dari dalam kamar mandi untuk menghindari kejaran dari bayangan di dalam cermin yang masih saja terus menghantuinya. Darah yang baru saja terhenti itu membuat tubuhnya melemas, tidak biasanya ia mengalami mimisan selama itu. Andini mulai merasakan sakit kepala yang menghebat, ia mencoba untuk bersandar di kursi agar sakit itu perlahan-lahan hilang, namun pandangannya berkunang-kunang dan kabur. Hijau..gelap...dan tak terdengar suara-suara lagi.
*
“Yeee.., Andini anak haram. Anak haram, nggak punya bapak, nggak punya ibu. Anak haram...., anak haram...anak haram...” ejek beberapa orang temannya di sekolah. Gadis kecil berkuncir kuda itu menangis histeris. Sampai ia menghentak-hentakkan kakinya. Akan tetapi ejekan-ejekan itu semakin menjadi-jadi, entah darimana teman-temannya tahu bahwa ibunya yang merawat sejak kecil bukanlah ibu sesungguhnya, melainkan tante. Adik dari ayahnya.
“Aku bukan anak haram! Nggak ada yang namanya anak itu haram, aku punya ibu. Siapa yang bilang aku anak haram?!” bentak Andini kecil memberanikan diri untuk membalas ejekan mereka.
“Itu tantemu! Orangtuamu mati kena azab Allah, mati bersama. Karena melahirkan anak haram!” lanjut mereka semakin tak mengenal hati untuk mengejek.
Menangislah Andini semakin keras dan sedu sedan, hingga akhirnya tangisan itu menggemparkan seluruh isi kelas. Begitu pula saat kedatangan seorang guru menghentikan permainan ejek-mengejek mereka dengan pukulan penggaris kayu ke arah papan tulis.